Aliran Sesat di Maros: Ibadah Haji di Gunung Bawakaraeng, Rukun Islam Ditambah

Aliran Sesat di Maros: Ibadah Haji di Gunung Bawakaraeng, Rukun Islam Ditambah

Kehebohan menyelimuti Dusun Bonto-bonto, Desa Bonto Somba, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Munculnya aliran sesat yang menyebut dirinya Pangissengana Tarekat Ana' Loloa telah menggemparkan warga setempat. Aliran ini, yang diperkirakan mulai aktif sejak bulan Ramadhan tahun 2024, mengajarkan sejumlah ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Salah satu ajaran yang paling kontroversial adalah penetapan rukun Islam sebanyak sebelas, bukan lima seperti yang diajarkan dalam Islam. Lebih mengejutkan lagi, ajaran ini menyatakan bahwa ibadah haji tidak perlu dilakukan di Mekkah, melainkan cukup di Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Gowa. Keberadaan aliran ini telah dilaporkan oleh warga kepada pihak berwajib.

Marzuki, Kepala BPD Bonto-bonto, mengungkapkan kekhawatirannya terkait penyebaran ajaran ini. Ia menjelaskan bahwa aliran tersebut baru menimbulkan protes setelah ia kembali dari Kalimantan. Sebelumnya, warga setempat terkesan membiarkan keberadaan aliran ini. Marzuki menekankan penyimpangan ajaran tersebut, khususnya mengenai penambahan rukun Islam dan penggantian lokasi ibadah haji. Ia juga menyebut adanya kewajiban membeli pusaka sebagai syarat keselamatan di akhirat, sebuah ajaran yang tidak dikenal dalam ajaran Islam yang benar. “Dulu namanya itu Pangissengana Tarekat Ana' Loloa. Sejak bulan puasa tahun lalu sudah ada, tapi saya di Kalimantan dulu. Dibiarkan oleh warga dulu, setelah saya datang baru saya protes,” ujar Marzuki dalam wawancara dengan media lokal.

Pihak kepolisian, diwakili oleh Kapolsek Tompobulu AKP Makmur, telah merespon laporan tersebut. Pimpinan aliran sesat, seorang perempuan bernama Petta Bau (56 tahun), telah dipanggil untuk dimintai keterangan pada Oktober 2024, namun ia tidak hadir. Polisi berencana melakukan pemanggilan ulang, kali ini dengan melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Kabupaten Maros untuk memastikan langkah yang tepat dalam penanganan kasus ini. Kepolisian juga tengah menyelidiki lebih lanjut terkait kewenangan penanganan kasus ini, apakah berada di ranah Kesbangpol atau lembaga keagamaan, untuk memastikan tindakan yang sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku. “Kami masih lakukan penyelidikan karena kami tidak tahu ini ranah dari Kesbang. Karena ini masalah keagamaan jangan sampai salah langkah ternyata tidak dibenarkan dia punya ajaran,” ungkap AKP Makmur.

Kasus ini menyoroti pentingnya kewaspadaan masyarakat terhadap munculnya aliran-aliran sesat yang dapat menyesatkan umat. Kerjasama antara masyarakat, aparat kepolisian, MUI, dan pemerintah daerah sangat krusial dalam mencegah penyebaran ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma yang berlaku di Indonesia. Penanganan yang tepat dan terkoordinasi diperlukan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif aliran sesat dan memastikan tegaknya hukum serta kerukunan antar umat beragama.


Kesimpulan: Kasus aliran sesat di Maros ini menjadi pengingat pentingnya pemahaman agama yang benar dan kewaspadaan terhadap ajaran-ajaran yang menyimpang. Koordinasi yang baik antara berbagai pihak diperlukan untuk mencegah penyebaran paham-paham yang dapat memecah belah dan merugikan masyarakat.