Polemik Honor Febri Diansyah dalam Pusaran Kasus SYL: Antara Kesaksian dan Penggeledahan KPK

Polemik Honor Febri Diansyah dalam Pusaran Kasus SYL: Antara Kesaksian dan Penggeledahan KPK

Kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menjerat mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) terus bergulir. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di kantor lama Febri Diansyah, Visi Law Office. Penggeledahan ini memicu sorotan, mengingat Febri kini berstatus sebagai pengacara Hasto Kristiyanto, politisi dari partai penguasa.

KPK menegaskan penggeledahan tersebut terkait penelusuran aliran dana dari SYL kepada Febri Diansyah dan timnya, yang saat itu bertindak sebagai kuasa hukum SYL. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya melacak aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang dilakukan SYL. "Kami menduga uang hasil tindak pidana korupsi SYL digunakan untuk membayar Visi Law Office sebagai konsultan hukum," ujar Asep.

Kesaksian di Persidangan

Isu honor Febri Diansyah sebenarnya sudah mencuat dalam persidangan kasus korupsi SYL sebelumnya. Febri bahkan sempat dihadirkan sebagai saksi pada 3 Juni 2024. Dalam persidangan tersebut, SYL menyatakan bahwa ia membayar honor Febri dari uang pribadinya.

Febri sendiri mengakui menerima honor sebesar Rp 800 juta untuk jasa pengacara pada tahap penyelidikan di KPK. Selain itu, ia juga menerima Rp 3,1 miliar saat menjadi kuasa hukum SYL dalam penyidikan kasus gratifikasi dan pemerasan. Hakim ketua, Rianto Adam Pontoh, secara detail menanyakan perihal honor tersebut.

"Untuk proses penyidikan, nilai totalnya Rp 3,1 miliar untuk tiga klien. Kami menandatangani perjanjian jasa hukum sekitar tanggal 10 atau 11 Oktober (2023) setelah Pak Menteri SYL sudah mundur sebagai Menteri Pertanian," jelas Febri.

Febri meyakini bahwa dana tersebut berasal dari uang pribadi SYL. Ia bahkan menyebut SYL sempat meminta dicarikan pinjaman untuk membayar honor tersebut. Namun, saat pembayaran dilakukan, SYL, Kasdi Subagyono, dan Muhammad Hatta sudah dalam proses penahanan di KPK.

Kontradiksi Kesaksian

Namun, kesaksian Febri ini kemudian dibantah oleh mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pertanian (Kementan), Kasdi Subagyono. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan jaksa KPK, Kasdi menyebut sebagian honor Febri Diansyah dibayarkan menggunakan uang patungan dari pegawai Kementan.

"Asal uang yang digunakan untuk pembayaran atas penunjukan Febri Diansyah sebagai kuasa hukum Kementan adalah uang pribadi saya Rp 550 juta. Sisanya diselesaikan oleh Muhammad Hatta, yang berasal dari pengumpulan uang pada Kementan," ungkap Kasdi dalam BAP.

Kasdi mengaku tidak mengetahui detail mengenai pengumpulan uang tersebut. Ia hanya mengetahui bahwa uang tersebut digunakan untuk membayar sisa honor Febri setelah dikurangi Rp 550 juta yang berasal dari uang pribadinya. Kasdi juga menyebut bahwa salah satu sumber uang patungan tersebut berasal dari Ditjen Peternakan Kementan sebesar Rp 100 juta.

Kasdi menegaskan bahwa ia tidak mengetahui perihal honor Rp 3,1 miliar untuk Febri dan timnya dalam tahap penyidikan kasus gratifikasi dan pemerasan. Menurutnya, pembayaran honor tersebut dilakukan langsung oleh SYL.

Keterangan Kasdi ini jelas berbeda dengan keterangan Febri saat diperiksa sebagai saksi. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan mengenai sumber dana yang sebenarnya digunakan untuk membayar honor Febri Diansyah.

Implikasi Hukum dan Etika

Kasus ini tidak hanya menyoroti dugaan TPPU yang dilakukan SYL, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai etika profesi advokat. Penerimaan honor dari hasil tindak pidana korupsi dapat menimbulkan konflik kepentingan dan merusak integritas profesi advokat.

KPK terus mendalami kasus ini untuk mengungkap kebenaran dan memastikan bahwa semua pihak yang terlibat bertanggung jawab atas perbuatannya. Penggeledahan di kantor lama Febri Diansyah merupakan salah satu upaya untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan.

Kasus ini menjadi pengingat bagi semua pihak, terutama para pejabat publik dan profesional hukum, untuk selalu menjunjung tinggi integritas dan etika dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.