Revisi UU Polri dan KUHAP: Ancaman Absolutisme Kekuasaan dan Dampaknya pada Pemberantasan Korupsi
Polemik RUU Polri dan KUHAP: Potensi Absolutisme dan Erosi Pemberantasan Korupsi
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat sipil dan ahli hukum. Kedua RUU ini, yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dianggap berpotensi memberikan kekuasaan absolut kepada Polri dan menggerus kewenangan lembaga lain dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.
Potensi Absolutisme Polri
Kritik utama terhadap RUU Polri terletak pada tiga poin utama:
- Sentralisasi Kewenangan Penyidikan: RUU ini mengamanatkan bahwa kewenangan penyidikan secara mutlak berada di tangan Polri. Hal ini berdampak pada pencabutan kewenangan penyidikan lembaga lain, termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Kejaksaan dalam kasus tindak pidana korupsi.
- Dominasi Keamanan Nasional: RUU Polri menempatkan Polri sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas keamanan nasional, mengabaikan peran dan fungsi kementerian/lembaga lain, termasuk TNI, dalam menjaga keamanan di bidang masing-masing.
- Lemahnya Pengawasan Internal: RUU ini dinilai tidak menyediakan mekanisme pengawasan independen terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum, sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan impunitas.
Erosi Kewenangan Pemberantasan Korupsi
Salah satu poin krusial dalam RUU KUHAP adalah pembatasan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi. RUU ini secara eksplisit hanya memberikan kewenangan tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), TNI Angkatan Laut (untuk tindak pidana di bidang kelautan), dan Kejaksaan (terbatas pada pelanggaran HAM berat). Hal ini secara efektif mencabut kewenangan Kejaksaan untuk menyidik kasus korupsi, padahal lembaga ini telah menunjukkan kinerja yang signifikan dalam membongkar kasus-kasus korupsi besar dalam beberapa tahun terakhir.
Kinerja Kejaksaan dalam Pemberantasan Korupsi
Kejaksaan telah berhasil mengungkap berbagai kasus korupsi besar yang merugikan negara triliunan rupiah, seperti:
- Korupsi Pertamina Patra Niaga (Rp 968,5 triliun)
- Korupsi PT Timah (Rp 300 triliun)
- Korupsi BLBI (Rp 138 triliun)
- Korupsi Duta Palma (Rp 78 triliun)
- Korupsi PT TPPI (Rp 37 triliun)
- Korupsi PT ASABRI (Rp 22 triliun)
- Korupsi PT Jiwasraya (Rp 17 triliun)
- Korupsi di Kemensos (Rp 17 triliun)
- Korupsi Minyak Sawit (CPO) (Rp 12 triliun)
- Korupsi Garuda Indonesia (Rp 9 triliun)
- Korupsi BTS Kominfo (Rp 8 triliun)
- Korupsi Bank Century (Rp 7 triliun)
- Korupsi PT Antam (Rp 3,3 triliun)
Pengurangan kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan korupsi dinilai akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Apalagi, kinerja KPK saat ini dinilai belum optimal, dan Kepolisian masih menghadapi berbagai tantangan internal yang dapat menghambat efektivitas pemberantasan korupsi.
Perlunya Pengawasan dan Partisipasi Publik
Masyarakat sipil perlu terus mengkritisi dan memberikan masukan konstruktif kepada DPR dan Pemerintah dalam proses pembahasan RUU Polri dan RUU KUHAP. Teori-teori demokrasi, kekuasaan, dan organisasi, serta prinsip-prinsip checks and balances dan pemisahan kekuasaan, harus menjadi landasan dalam penyusunan RUU ini. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya absolutisme kekuasaan, menjamin penegakan hukum yang objektif dan akuntabel, serta memperkuat upaya pemberantasan korupsi demi kepentingan rakyat.
Implikasi Teori Demokrasi dan Pemisahan Kekuasaan
Gagasan tentang kontrak sosial yang dicetuskan oleh Jean Jacques Rousseau menekankan pentingnya pemerintahan yang didasarkan pada kehendak rakyat. Demokrasi lahir dari penolakan terhadap absolutisme kekuasaan. Teori Trias Politica dari Montesquieu, serta konsep checks and balances dari Geoffrey Marshal, menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan dan mekanisme saling kontrol antar lembaga negara untuk mencegah kesewenang-wenangan.
Dalam konteks RUU Polri dan KUHAP, prinsip-prinsip ini harus diimplementasikan secara cermat. Kewenangan yang terlalu besar pada satu lembaga, tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu, DPR dan Pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang semua masukan dari masyarakat sipil dan ahli hukum, serta memastikan bahwa RUU ini sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.