Kesenjangan Pendidikan Indonesia: Dari Angka Lulusan Perguruan Tinggi Hingga Krisis Literasi di Papua

Kesenjangan Pendidikan Indonesia: Dari Angka Lulusan Perguruan Tinggi Hingga Krisis Literasi di Papua

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mengungkap potret memprihatinkan sistem pendidikan Indonesia. Meskipun mayoritas penduduk di atas 15 tahun telah menyelesaikan pendidikan menengah atas atau sederajat (30,85%), angka lulusan perguruan tinggi hanya mencapai 10,2%. Lebih mengejutkan lagi, persentase penduduk yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar (SD dan SMP) justru lebih tinggi, mencapai 47,51% (24,72% SD dan 22,79% SMP). Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam akses dan capaian pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi X DPR RI, menekankan disparitas ini, dengan DKI Jakarta sebagai provinsi dengan angka tertinggi dan Papua Pegunungan sebagai salah satu provinsi dengan angka penduduk yang belum pernah bersekolah paling tinggi.

Lebih lanjut, data BPS juga menunjukan rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya 9,22 tahun, setara dengan lulusan kelas 9 SMP. DKI Jakarta mencatatkan angka tertinggi (11,5 tahun), sementara Papua Pegunungan hanya mencapai 5,1 tahun. Ketimpangan ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam mewujudkan pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan berbagai masalah yang dihadapi daerah-daerah tertinggal, khususnya di Papua dan Papua Barat.

Tantangan Pendidikan di Papua: Ketidakhadiran Guru dan Akses Terbatas

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengidentifikasi beberapa faktor penghambat kualitas pendidikan di Papua. Salah satu yang paling signifikan adalah tingginya angka ketidakhadiran guru, mencapai 37-43% di Papua Barat. Meskipun alasan pasti dari angka ini tidak dijelaskan, BRIN menyebutkan beberapa faktor lainnya, seperti keterbatasan akses ke sekolah, kesulitan implementasi kurikulum nasional sepenuhnya, dan kondisi geografis yang menantang dengan jarak tempuh ke sekolah yang bisa mencapai lebih dari 10 kilometer. Faktor budaya juga berperan, karena anak-anak di Papua seringkali membantu orang tua mereka bekerja di kebun atau berburu, atau mengikuti perayaan adat, yang menyebabkan keterbatasan waktu untuk bersekolah.

Krisis Literasi di Papua Barat Daya

Keterbatasan akses dan kualitas pendidikan di Papua Barat Daya juga berdampak pada kemampuan baca tulis siswa. BRIN mencatat adanya siswa kelas 2 SD di Sorong Selatan yang masih kesulitan membaca huruf konsonan dan belum mampu membaca satu kalimat utuh. Kemampuan baca tulis yang rendah ini bahkan masih ditemukan pada siswa kelas 4, 5, dan 6 SD, bahkan hingga ke tingkat SMP dan SMA. Permasalahan ini diperparah dengan kurangnya kurikulum lokal dan keterbatasan infrastruktur pendidikan seperti perpustakaan dan buku.

Dampak Pemotongan Anggaran Pendidikan

Penurunan drastis anggaran DAK fisik pendidikan tahun 2025 dari Rp 15,3 triliun menjadi Rp 2,2 triliun semakin memperburuk keadaan. Penurunan ini berdampak pada terhambatnya program wajib belajar 12 tahun dan peningkatan kualitas lulusan vokasi. Meskipun pemerintah berencana mengalokasikan anggaran tersebut untuk pemenuhan media pembelajaran dan peralatan pendidikan di daerah afirmasi, daerah dengan kinerja pendidikan rendah, daerah miskin ekstrem, dan daerah bencana, namun kekhawatiran tetap muncul terkait ketidakjelasan alokasi anggaran renovasi 10.000 sekolah yang sebelumnya dijanjikan senilai Rp 17,1 triliun. Kondisi ini menyisakan pertanyaan besar tentang komitmen pemerintah dalam mengatasi permasalahan pendidikan yang kompleks di Indonesia.

  • Kesimpulan: Data dan temuan tersebut menggambarkan situasi pendidikan Indonesia yang memprihatinkan. Kesenjangan akses dan kualitas pendidikan, terutama di daerah tertinggal seperti Papua, membutuhkan perhatian dan solusi yang komprehensif dan terintegrasi dari pemerintah, termasuk alokasi anggaran yang memadai dan strategi yang tepat sasaran.