Menelisik Etika Profesi Food Reviewer: Antara Kejujuran, Tanggung Jawab, dan Pemahaman Kuliner Mendalam

Etika Food Reviewer: Sebuah Tinjauan Mendalam dari Pelaku Industri Kuliner

Profesi food reviewer atau pengulas makanan belakangan menjadi sorotan, terutama setelah mencuatnya kasus antara Codeblu dan Clairmont. Peristiwa ini memicu perdebatan mengenai batasan dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang pengulas makanan. Lalu, apa saja sebenarnya etika yang perlu diperhatikan dalam profesi yang semakin populer ini?

Kasus Codeblu vs Clairmont bermula dari unggahan yang menuding Clairmont memberikan kue kedaluwarsa ke panti asuhan. Meski telah diklarifikasi, Codeblu menolak menghapus video tersebut dan justru menawarkan kerjasama, yang berujung pada pelaporan ke polisi atas dugaan pelanggaran UU ITE. Kegagalan mediasi semakin memperjelas perlunya pemahaman etika yang lebih dalam bagi para pelaku di industri kuliner.

Opini Para Ahli: Lebih dari Sekadar Rasa

Chef sekaligus sejarawan kuliner, Wira Hardiyansyah, menekankan bahwa menjadi food reviewer bukan sekadar persoalan selera. Pemahaman mendalam tentang dunia kuliner menjadi fondasi utama. Seorang pengulas harus mampu memahami konteks di balik sebuah hidangan, bukan hanya sekadar mengomentari rasa enak atau tidak enak. “Yang paling penting, dia harus mengerti dunia kuliner. Jangan cuma ngomongin rasa makanan enak atau bumbu meresap. Harus paham konteks ketika me-review makanan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Wira menjelaskan pentingnya menghindari penilaian subjektif yang berlebihan. Istilah "enak" dan "tidak enak" bersifat personal, sehingga pengulas sebaiknya tidak langsung menghakimi sebuah hidangan hanya karena tidak sesuai dengan seleranya. Konteks lain, seperti harga dan target pasar, juga perlu dipertimbangkan sebelum memberikan penilaian akhir.

"Misalnya ada soto Betawi di Bekasi viral disebut kemahalan (tidak layak) karena harganya Rp 70 ribu semangkuk. Kalau itu kemahalan, nggak mungkin dong laku sampai sekarang? Orang jualan pasti sudah punya konsep dong,” tambahnya. Wira menekankan pentingnya menyampaikan informasi secara informatif dan konstruktif, bukan destruktif. Ia juga mengingatkan filosofi budaya Nusantara yang menekankan untuk menyebarkan kabar baik dan menyimpan yang buruk.

Kejujuran dan Integritas: Pilar Utama Seorang Food Reviewer

Tantra Tobing, seorang F&B personality, menambahkan bahwa kejujuran dan integritas adalah kunci utama bagi seorang food reviewer. Ia yang telah mengulas ratusan restoran berbintang Michelin, merasa bahwa tanggung jawab profesi ini sangat besar. "Bila konten berbayar dan mereka rasa makanannya tidak cocok untuk mereka, lebih baik job tidak diterima daripada menghancurkan trust yang sudah dibangun dengan para audience, tentunya itu disertai dengan feedback yang membangun kepada pihak restoran," tegasnya.

Tantra juga menyoroti perbedaan antara food reviewer dan kritikus makanan. Kritikus makanan, yang umumnya berlatar belakang jurnalisme, memberikan penilaian yang lebih tajam dan mendalam terhadap semua aspek restoran, dan penilaian mereka sangat disegani di luar negeri.

Menciptakan Ekosistem Kuliner yang Sehat

Gupta Sitorus, pebisnis kuliner dan jurnalis gastronomi, meyakini bahwa food reviewer dapat memberikan dampak positif bagi industri kuliner jika dilakukan secara etis. Ulasan yang baik dapat menciptakan ekosistem yang lebih sehat bagi konsumen, chef, merek, dan pecinta kuliner.

Menurut Gupta, seorang food reviewer idealnya memiliki enam etika utama:

  • Jujur dan Transparan: Menyampaikan informasi dengan apa adanya dan terbuka mengenai potensi konflik kepentingan.
  • Memelihara Integritas: Tidak mudah dipengaruhi oleh iming-iming atau tekanan dari pihak manapun.
  • Menghargai dan Adil: Memberikan penilaian yang seimbang dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang.
  • Sensitivitas Budaya: Memahami dan menghargai perbedaan budaya dalam kuliner.
  • Tanggung Jawab Sosial: Menyadari dampak ulasan terhadap bisnis dan masyarakat.
  • Pengetahuan Kuliner: Memiliki pemahaman mendalam tentang bahan, teknik memasak, dan sejarah kuliner.

Gupta menyayangkan banyaknya food reviewer yang terjebak dalam pendapat subjektif dan bias. Ia menekankan pentingnya fokus pada faktor-faktor objektif seperti kecepatan pelayanan dan kebersihan. Ia juga menyoroti fenomena power play yang dilakukan oleh sebagian food reviewer, dan menekankan perlunya kebijaksanaan, keadilan, dan empati dalam membuat ulasan.

Dengan menjunjung tinggi etika dan profesionalisme, profesi food reviewer dapat menjadi katalisator positif bagi perkembangan industri kuliner yang berkelanjutan.