Mahasiswa Unand Gugat Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE ke MK

Mahasiswa Unand Tantang Konstitusionalitas Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Sebelas mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) mengajukan gugatan uji materiil terhadap Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut, terdaftar dengan nomor perkara 187/PUU-XXII/2024, diajukan pada Selasa, 4 Maret 2025, dan sidang pemeriksaan pendahuluan telah digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat. Para pemohon, yang terdiri dari Muhammad Zhafran Hibrizi, Basthotan Milka Gumilang, Adria Fathan Mahmuda, Suci Rizka Fadhilla, Nia Rahma Dini, Qurratul Hilma, Fadhilla Rahmadiani Fasya, Adam Fadillah Al Basith, Hafiz Haromain Simbolon, Khoilullah MR, dan Tiara, menganggap pasal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian dan bertentangan dengan konstitusi.

Para mahasiswa, yang secara tegas menyatakan tidak menggunakan kuasa hukum, mempersoalkan pasal yang berbunyi: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik." Mereka berpendapat bahwa pasal tersebut memiliki beberapa kelemahan krusial yang berpotensi menimbulkan penafsiran yang beragam dan merugikan. Salah satu poin utama yang dipersoalkan adalah ketidakjelasan definisi frasa "rasa kebencian atau permusuhan," yang dinilai terlalu kabur dan rentan terhadap penyalahgunaan. Ketidakjelasan ini, menurut para pemohon, dapat membatasi kebebasan berekspresi dan berpotensi mengkriminalisasi kritik sosial yang konstruktif.

Lebih lanjut, para pemohon menyoroti ambiguitas frasa "masyarakat tertentu." Mereka khawatir, ambiguitas ini dapat menyebabkan pasal tersebut disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap kelompok atau komunitas tertentu. Potensi penyalahgunaan ini, diyakini pemohon, dapat membatasi ruang demokrasi dan hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat. Kekhawatiran ini diperkuat dengan fakta bahwa mereka, sebagai mahasiswa yang aktif dalam kajian hukum, merasa pasal ini sangat berpotensi merugikan kegiatan akademik dan advokasi mereka.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk:

  1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.
  2. Menyatakan penghapusan seluruh Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  3. Menyatakan penghapusan frasa "masyarakat tertentu" dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  4. Menyatakan perlunya pemberian penjelasan lebih lanjut atas Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sebagai alternatif, mereka memohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) jika MK memiliki keputusan yang berbeda. Menanggapi gugatan tersebut, Ketua MK Suhartoyo memberikan nasihat kepada para pemohon untuk menyempurnakan petitum mereka, khususnya terkait konsistensi antara poin-poin yang dipersoalkan dan petitum yang diajukan, serta untuk memperkuat legal standing mereka sebagai mahasiswa. Sidang ini menjadi sorotan penting bagi perkembangan hukum di Indonesia, khususnya terkait kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam era digital.