Evaluasi Kebijakan Moneter: Mengapa Penurunan Suku Bunga Acuan BI Mendesak di Tengah Tantangan Ekonomi 2025
Analisis Mendalam: Urgensi Penurunan BI Rate di Tengah Gejolak Ekonomi 2025
Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI Rate) pada level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) 18-19 Maret 2025, memicu perdebatan di kalangan ekonom dan pelaku pasar. Di satu sisi, BI berargumentasi bahwa langkah ini diperlukan untuk menjaga inflasi dalam kisaran target 1,5-3,5% pada 2025 dan 2026, menstabilkan nilai tukar Rupiah, serta mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, sejumlah analis berpendapat bahwa kebijakan ini kurang tepat dan mendesak untuk dilakukan penyesuaian. Alasannya, kondisi ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini memerlukan stimulus moneter yang lebih agresif.
Argumen untuk Penurunan Suku Bunga Acuan
Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa BI seharusnya mempertimbangkan penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% pada Maret 2025:
-
Deflasi Berkelanjutan: Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami deflasi pada Januari dan Februari 2025. Deflasi month-to-month (m-to-m) Januari tercatat sebesar 0,76%, dengan deflasi year-to-date (y-to-d) juga sebesar 0,76%. Sementara itu, inflasi year-on-year (y-on-y) Januari hanya mencapai 0,76%, terendah sejak Januari 2000. Tren deflasi berlanjut pada Februari, dengan deflasi m-to-m sebesar 0,48% dan deflasi y-to-d mencapai 1,24%. Secara y-on-y, Februari bahkan mencatatkan deflasi sebesar 0,09%. Akumulasi deflasi awal tahun hingga akhir Februari mencapai 1,24%. Dengan target inflasi 2025 dan 2026 yang berada di kisaran 1,5-3,5%, ruang untuk pelonggaran moneter seharusnya terbuka lebar.
- Dampak Penurunan Suku Bunga: Penurunan BI Rate diharapkan dapat menurunkan suku bunga simpanan dan kredit perbankan. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk meningkatkan pinjaman, yang pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi dan investasi. Peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa akan menaikkan harga dan mendorong inflasi menuju target yang diinginkan.
-
Prospek Ekonomi yang Mengkhawatirkan: Survei "Economic Experts Survey" yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) menunjukkan bahwa mayoritas ahli ekonomi (55%) menilai kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih buruk dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Mereka juga memprediksi pertumbuhan ekonomi akan melambat pada periode berikutnya. Selain itu, para ahli juga mengkhawatirkan kondisi pasar tenaga kerja dan lingkungan bisnis. Kebijakan fiskal juga dinilai kurang efektif oleh sebagian besar responden. Secara umum, hasil survei LPEM FEB UI mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi Indonesia sedang mengalami kemunduran dan diperkirakan akan semakin memburuk.
- Gelombang PHK: Hasil survei LPEM FEB UI sejalan dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di awal tahun 2025, yang disebabkan oleh penutupan sejumlah pabrik. Salah satu contoh kasus yang menjadi perhatian publik adalah PHK 10.669 karyawan PT Sritex setelah perusahaan dinyatakan pailit pada 1 Maret 2025. Kontradiksi antara penilaian BI dan hasil survei LPEM FEB UI menunjukkan adanya potensi blind spot dalam analisis kebijakan moneter.
-
Turbulensi Pasar Modal: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan pada 18 Maret 2025, anjlok 3,84% ke level 6.223,38. Bahkan, pada sesi pertama perdagangan, IHSG sempat menyentuh level terendah di 6.011,84 atau turun 7,11%. Penurunan ini merupakan yang terbesar sejak Maret 2020, saat pandemi COVID-19 melanda. Bersamaan dengan jatuhnya IHSG, terjadi arus keluar dana asing ( capital outflow) sebesar Rp 2,49 triliun di semua pasar. Sejak awal tahun 2025 hingga 21 Maret 2025, total capital outflow mencapai Rp 33,18 triliun. Turbulensi di pasar modal dapat menekan nilai tukar Rupiah. Respon yang tepat dari BI adalah dengan menurunkan BI Rate.
- Dampak Penurunan Suku Bunga: Penurunan BI Rate akan menurunkan yield investasi pada fixed income securities (surat utang), sehingga investor dapat mengalihkan dana ke pasar saham. Hal ini berpotensi mendongkrak IHSG dan menarik kembali dana asing ke pasar modal Indonesia, yang pada akhirnya akan memperkuat nilai tukar Rupiah.
Konsekuensi Mempertahankan Suku Bunga
Keputusan BI untuk mempertahankan BI Rate di level 5,75% berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025. Kondisi ekonomi yang memburuk, pasar tenaga kerja yang lesu, dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi tantangan berat. Tanpa dukungan kebijakan moneter yang memadai, sektor riil akan semakin tertekan. Permintaan terhadap barang dan jasa diperkirakan akan menurun, sehingga target pertumbuhan ekonomi 5,1% akan sulit tercapai.
Rekomendasi Kebijakan
BI sebaiknya mempertimbangkan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% pada April 2025. Penurunan ini harus dilakukan secara bertahap dan tidak terlalu signifikan agar tidak menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Selain itu, BI perlu terus memperkuat sistem pembayaran digital untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sistem pembayaran digital harus diarahkan untuk mendukung sektor perdagangan dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang memiliki kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia.