Prabowo Soroti Jurang Komunikasi Pemerintah dan Rakyat: Perintah untuk Narasi yang Membumi
Jurang Pemahaman: Ketika Kebijakan Pemerintah Gagal Menyentuh Hati Rakyat
Dalam sidang kabinet paripurna yang digelar pada Jumat, 21 Maret 2025, Presiden Prabowo Subianto secara terbuka mengakui adanya permasalahan mendasar dalam komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Pengakuan ini bukan sekadar evaluasi kinerja, melainkan sebuah refleksi jujur bahwa meskipun berbagai kebijakan telah diimplementasikan, dampak positifnya belum sepenuhnya dirasakan dan dipahami oleh rakyat.
Presiden Prabowo menekankan pentingnya narasi yang kuat dan relevan dalam setiap kebijakan pemerintah. Narasi, dalam konteks ini, bukan sekadar pelengkap atau alat pemasaran kebijakan, melainkan jembatan yang menghubungkan pemerintah dengan rakyat. Tanpa narasi yang efektif, kebijakan berpotensi menjadi sekadar program teknokratis yang jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini juga bisa menyebabkan masyarakat merasa tidak dilibatkan dan menjadi penonton pasif dari perubahan yang seharusnya mereka rasakan.
Menciptakan Narasi yang Membangun Kepercayaan
Presiden menyoroti pentingnya membangun kepercayaan, membangkitkan emosi positif, dan mengajak partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. Komunikasi publik yang efektif bukan hanya tentang menyebarkan data dan fakta, tetapi juga tentang menciptakan hubungan emosional dan membangun pemahaman bersama. Dengan kata lain, komunikasi adalah seni membuat kekuasaan didengar dan dipahami, bukan hanya dipatuhi.
Sejak era reformasi, pemerintah sering kali terjebak dalam pola pikir teknokratis, di mana fokus utama adalah pada kinerja dan pencapaian angka-angka statistik. Padahal, dalam sistem demokrasi, legitimasi kekuasaan tidak hanya bergantung pada kinerja, tetapi juga pada kemampuan pemerintah untuk berkomunikasi secara efektif dengan rakyat.
Menjembatani Kesenjangan: Kebijakan Sampai ke Meja Makan Rakyat
Presiden Prabowo menyadari bahwa efektivitas kebijakan akan sia-sia jika rakyat tidak tahu, tidak merasa, dan tidak terlibat. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya menjembatani kesenjangan antara kerja pemerintah dan kesadaran publik. Kebijakan harus tidak hanya hadir di meja birokrasi, tetapi juga sampai ke meja makan rakyat.
Komunikasi publik bukan hanya tugas Kementerian Komunikasi dan Informatika atau juru bicara presiden, melainkan tanggung jawab seluruh pejabat negara. Setiap menteri, setiap kepala badan, harus mampu menjadi komunikator yang efektif, menjelaskan kebijakan secara jelas dan mudah dipahami.
Sayangnya, selama ini banyak menteri lebih nyaman tampil di rapat-rapat tertutup daripada menjelaskan kebijakan kepada publik. Banyak kepala badan lebih mahir menyusun laporan daripada menjawab pertanyaan wartawan. Akibatnya, banyak kebijakan diluncurkan tanpa strategi komunikasi yang matang. Dalam demokrasi elektoral, komunikasi adalah modal kuasa. Pemerintah yang tak pandai bicara akan disalip oleh oposisi yang pandai mencipta wacana. Pemerintah yang kehilangan narasi akan kehilangan legitimasi, bahkan ketika kinerjanya tak bisa disangkal.
Strategi Komunikasi untuk Kelangsungan Kekuasaan
Perintah Presiden Prabowo untuk memperbaiki komunikasi bukan hanya urusan teknis, melainkan bagian dari kesadaran strategis untuk mengisi kekosongan narasi yang selama ini ditinggalkan. Ini adalah sinyal bahwa Presiden ingin menghadirkan kembali "jiwa" dari setiap kebijakan.
Tantangan komunikasi publik saat ini lebih rumit karena banjir informasi di dunia digital. Opini publik dibentuk oleh media sosial yang liar dan cepat, bukan hanya oleh media arus utama. Dalam situasi ini, narasi pemerintah harus lebih cerdas, lebih jujur, dan lebih dekat dengan rakyat.
Rakyat tidak butuh dikuliahi, mereka butuh diajak bicara. Mereka tidak ingin mendengar slogan, mereka ingin mendengar alasan. Mereka tidak cukup diberi data, mereka ingin diberi makna. Inilah titik lemah komunikasi birokrasi: terlalu banyak jargon, terlalu sedikit kejujuran.
Dari Kritik ke Perbaikan Struktural
Presiden Prabowo telah membuka ruang kritik terhadap pemerintahannya sendiri. Ini langkah berani yang harus diikuti oleh perbaikan struktural dalam cara pemerintah berbicara kepada rakyatnya.
Sudah saatnya pemerintah menghadirkan kementerian yang bukan hanya kuat bekerja, tetapi juga kuat menjelaskan. Sudah saatnya program besar seperti makan bergizi gratis dibungkus dengan cerita, bukan sekadar laporan. Sudah saatnya negara turun dari podium dan masuk ke ruang dapur rakyat.
Kebijakan tanpa narasi adalah kebijakan yang kehilangan makna. Ia berjalan tanpa arah, diterima tanpa pemahaman, dan berakhir tanpa penghargaan. Di tengah perubahan cepat dan kompleksitas tantangan global, komunikasi menjadi jembatan yang menentukan apakah kekuasaan akan dimengerti atau ditinggalkan.
Presiden sudah memberi kode keras. Sekarang, giliran para menteri untuk membuktikan: bahwa mereka tidak hanya bisa bekerja, tetapi juga bisa bicara. Bahwa mereka tidak hanya hadir di rapat, tetapi juga hadir di benak rakyat. Jika tidak, maka negara akan kembali jatuh dalam sunyi yang memekakkan.