Puncak Bogor di Ujung Tanduk: Mampukah Penegakan Hukum Menertibkan Bangunan Ilegal?

Puncak Bogor di Ujung Tanduk: Mampukah Penegakan Hukum Menertibkan Bangunan Ilegal?

Kawasan Puncak Bogor, yang dikenal dengan keindahan alam dan fungsi hidrologisnya, kini berada di persimpangan jalan. Alih fungsi lahan yang masif telah mengancam kelestarian lingkungan dan memicu berbagai permasalahan, termasuk banjir yang kerap melanda wilayah Jabodetabek. Di tengah sorotan publik dan tuntutan penegakan hukum, muncul pertanyaan krusial: mampukah pemerintah daerah dan pusat menertibkan bangunan-bangunan ilegal yang berdiri kokoh di kawasan resapan air tersebut?

Tantangan ini semakin mengemuka setelah Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil tindakan tegas dengan merobohkan taman hiburan Hibisc Fantasy Puncak milik BUMD PT Jaswita dan menyegel sejumlah tempat wisata, golf, serta penginapan. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk memulihkan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan mengembalikan fungsi kawasan Puncak sebagai daerah resapan air. Namun, tindakan ini juga memicu pertanyaan mengenai konsistensi penegakan hukum terhadap pelanggaran serupa yang dilakukan oleh pihak swasta.

Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono, secara terbuka menantang Gubernur Jawa Barat dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk membuktikan komitmen mereka dalam menjaga lingkungan dengan membongkar bangunan-bangunan lain yang melanggar peruntukan lahan di Puncak. Ia menekankan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan tanpa pandang bulu, tanpa membeda-bedakan antara pelanggaran yang dilakukan oleh BUMD maupun swasta.

"Saya tantang Gubernur Jawa Barat atau pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup membongkar bangunan lain yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan dihijaukan kembali sesuai dengan fungsinya," tegas Ono.

Tantangan ini dilontarkan Ono sebagai respons atas tindakan tegas pemerintah provinsi terhadap Hibisc Fantasy Puncak dan beberapa tempat wisata lainnya. Ia mengingatkan bahwa pelanggaran tata guna lahan tidak hanya terjadi di Puncak Bogor dan Cianjur, tetapi juga di wilayah lain seperti Bandung, Bandung Barat, Subang, dan Kuningan. Oleh karena itu, penindakan serupa juga harus dilakukan di daerah-daerah tersebut jika terbukti terjadi alih fungsi lahan yang menyebabkan banjir.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjelaskan bahwa kewenangan untuk membongkar bangunan swasta di Puncak berada di tangan KLH. Ia mengungkapkan bahwa KLH telah mengeluarkan perintah pembongkaran dalam waktu satu bulan, dan jika tidak dilaksanakan, KLH akan turun tangan langsung.

Namun, Ono Surono kembali mempertanyakan komitmen Dedi Mulyadi dalam menertibkan bangunan ilegal milik swasta di Puncak. Ia menyebutkan adanya sekitar 10 bangunan lain yang memiliki status serupa dengan Hibisc Fantasy Puncak dan seharusnya diperlakukan sama, yaitu dibongkar.

Pengakuan mengejutkan datang dari Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, Muhammad Abdul Ghani. Ia mengakui adanya kelalaian dalam pengelolaan lahan di kawasan Gunung Mas, Puncak, Bogor. PTPN III mengakui telah memberikan izin kepada banyak tempat usaha untuk membangun bangunan permanen di atas tanah yang seharusnya menjadi area resapan air. Proses kerja sama alih fungsi lahan Gunung Mas ini telah berlangsung sejak era PTPN VIII.

Abdul Ghani mengakui bahwa pembangunan di Puncak telah melanggar ketentuan koefisien wilayah terbangun (KWT) Bogor, yang menetapkan bahwa pembangunan di daerah resapan air hanya boleh mencapai 30 persen dari luas lahan yang ditetapkan.

Daftar Pelanggaran di Puncak:

  • Alih fungsi lahan hutan menjadi kafe, perumahan, dan villa.
  • Pembangunan bangunan permanen di kawasan resapan air.
  • Pelanggaran ketentuan koefisien wilayah terbangun (KWT).

Langkah yang Diambil:

  • Pemerintah Provinsi Jawa Barat merobohkan taman hiburan Hibisc Fantasy Puncak.
  • Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyegel sejumlah tempat wisata, golf, dan penginapan.
  • Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengeluarkan perintah pembongkaran bangunan ilegal.

Kasus Puncak Bogor ini menjadi cermin bagi permasalahan tata ruang dan lingkungan yang kompleks di Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten dan tanpa pandang bulu menjadi kunci utama untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah terjadinya bencana alam. Selain itu, diperlukan pula kesadaran dan tanggung jawab dari semua pihak, termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat, untuk menjaga fungsi kawasan Puncak sebagai daerah resapan air dan paru-paru bagi wilayah Jabodetabek.