Good Governance di Indonesia: Antara Harapan dan Realita Korupsi yang Menggurita
Good Governance di Indonesia: Antara Harapan dan Realita Korupsi yang Menggurita
Indonesia, selama beberapa dekade terakhir, telah berjuang keras untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokrasi yang dicanangkan pasca-1998, ditandai dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diharapkan mampu memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta menciptakan pemerintahan yang bersih, efektif, dan akuntabel. Namun, realita di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara cita-cita luhur tersebut dengan praktik pemerintahan yang masih dibayangi oleh praktik korupsi yang masif dan sistemik.
Data dan fakta menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masih menjadi masalah, tetapi justru semakin menggurita. Skala kerugian negara akibat korupsi terus membengkak, dari puluhan miliar hingga mencapai angka fantastis ratusan triliun rupiah. Kasus-kasus korupsi yang terungkap belakangan ini, seperti penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) senilai ratusan triliun, korupsi di LPEI (Rp 11,7 triliun), ASDP (Rp 893 miliar), Jiwasraya (Rp 16,8 triliun), serta kasus mega korupsi pengoplosan bensin (Rp 968,5 triliun), menjadi bukti nyata betapa sistemiknya permasalahan ini. Bahkan, kasus-kasus korupsi besar seperti BLBI (Rp 138 triliun) dan e-KTP (Rp 2,314 triliun) masih membekas dalam ingatan publik, menunjukkan kegagalan sistemik dalam mencegah dan menindak korupsi.
Berbagai upaya penegakan hukum telah dilakukan, dengan banyaknya koruptor yang ditangkap dan dipenjara, termasuk pejabat tinggi negara. Namun, hal tersebut belum mampu menciptakan efek jera yang berarti. Modus operandi korupsi pun semakin beragam dan canggih, bahkan seringkali dilakukan secara terang-terangan. Ini menunjukkan kelemahan sistem pengawasan internal di berbagai kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintahan daerah. Fungsi pengawasan internal, seperti yang diemban oleh Inspektorat Jenderal (Itjen), tampaknya belum berjalan efektif dalam mencegah dan mendeteksi praktik korupsi.
Kegagalan dalam mewujudkan good governance berdampak serius bagi Indonesia. Kepercayaan publik terhadap pemerintah terus menurun, dan potensi kerugian ekonomi jangka panjang akibat korupsi semakin besar. Kondisi ini mengancam keberlanjutan pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat. Anak cucu bangsa akan menanggung beban dari dampak buruk korupsi yang terus berulang. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apa yang sebenarnya salah dengan sistem dan bagaimana cara memperbaiki keadaan ini?
Perlu adanya strategi baru dalam pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. Penguatan pengawasan internal di semua K/L dan pemerintah daerah sangat krusial. Perlu pula ditegaskan kembali komitmen bersama untuk menegakkan hukum dan peraturan yang ada. Partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan juga sangat penting. Tanpa perubahan mendasar dalam sistem dan komitmen yang kuat dari semua pihak, cita-cita good governance di Indonesia akan tetap menjadi isapan jempol. Pemerintah, DPR, dan seluruh komponen bangsa harus bahu-membahu mencari solusi untuk mengatasi masalah korupsi yang telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti bangsa.
Kesimpulan: Puluhan tahun reformasi dan upaya pemberantasan korupsi belum menghasilkan hasil yang signifikan. Skala dan modus korupsi terus berkembang, menunjukan lemahnya pengawasan internal dan sistem yang rentan. Dibutuhkan strategi baru dan komitmen kuat dari semua pihak untuk menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman korupsi dan mewujudkan good governance yang sesungguhnya.