Revisi KUHAP: Pasal Penghinaan Presiden Kini Terbuka untuk Penyelesaian Restorative Justice
Revisi KUHAP: Pasal Penghinaan Presiden Kini Terbuka untuk Penyelesaian Restorative Justice
Jakarta, Indonesia - Komisi III DPR RI melakukan koreksi signifikan terhadap draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya terkait penerapan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ). Perubahan penting ini menyangkut tindak pidana penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden yang kini tidak lagi dikecualikan dari mekanisme RJ.
Sebelumnya, draf awal KUHAP mengecualikan sejumlah tindak pidana dari penyelesaian melalui restorative justice, termasuk di antaranya penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Namun, melalui perbaikan redaksional dan kesepakatan seluruh fraksi, pasal pengecualian tersebut dihapuskan. Langkah ini membuka peluang penyelesaian kasus penghinaan presiden dan wakil presiden melalui pendekatan restorative justice.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa telah terjadi kesalahan redaksi pada draf awal yang dipublikasikan. Kesalahan tersebut mencantumkan pasal penghinaan presiden dalam KUHP sebagai pasal yang dikecualikan dari penyelesaian melalui RJ. Ia menyatakan bahwa seluruh fraksi di Komisi III DPR RI sepakat bahwa pasal penghinaan presiden justru menjadi salah satu pasal yang paling penting untuk diselesaikan melalui RJ.
"Kami sudah mengirimkan ke pemerintah draf yang di dalamnya sudah tidak lagi mencantumkan pasal penghinaan Presiden sebagai pasal yang dikecualikan untuk diselesaikan dengan RJ," ujar Habiburokhman, Senin (24/3/2025).
Keputusan ini menandai perubahan signifikan dalam pendekatan penegakan hukum terkait penghinaan terhadap kepala negara. Restorative justice menekankan pada pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, serta reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih adil dan efektif dibandingkan dengan proses peradilan pidana konvensional.
Rincian Perubahan dalam Pasal 77 RKUHAP
Sebelumnya, Pasal 77 draf RKUHAP (tertanggal 18 Maret 2025) mengecualikan sejumlah tindak pidana dari mekanisme restorative justice, termasuk:
- Tindak pidana terhadap keamanan negara.
- Tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden.
- Tindak pidana terhadap negara sahabat, kepala negara sahabat, dan wakilnya.
- Tindak pidana terhadap ketertiban umum.
- Tindak pidana terhadap kesusilaan.
Namun, dalam draf terbaru (tertanggal 24 Maret 2025), daftar tindak pidana yang dikecualikan dari restorative justice telah diubah. Pasal 77 kini menyebutkan bahwa perkara yang tidak dapat diselesaikan melalui restorative justice meliputi:
- Tindak pidana terorisme.
- Tindak pidana korupsi.
- Pidana tanpa korban (victimless crime).
- Perkara yang hukumannya lebih dari 5 tahun penjara.
- Pidana terhadap nyawa orang.
- Tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus.
- Tindak pidana narkoba (kecuali berstatus sebagai pengguna).
Dengan dicabutnya pengecualian terhadap pasal penghinaan presiden, maka kasus-kasus tersebut berpotensi untuk diselesaikan di luar jalur pengadilan melalui mediasi, ganti rugi, atau bentuk pemulihan lainnya. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi beban pengadilan dan memberikan solusi yang lebih konstruktif bagi semua pihak yang terlibat.
Perubahan ini juga memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dan masyarakat sipil. Sebagian pihak menyambut baik langkah ini sebagai upaya untuk mengurangi kriminalisasi dan memberikan ruang bagi penyelesaian konflik secara damai. Namun, ada pula yang khawatir bahwa hal ini dapat membuka celah bagi impunitas dan merendahkan martabat jabatan presiden.
Debat ini kemungkinan akan terus berlanjut seiring dengan pembahasan RKUHAP yang masih berlangsung di DPR dan pemerintah. Penting bagi semua pihak untuk terlibat secara konstruktif dalam proses ini guna memastikan bahwa KUHAP yang dihasilkan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara Indonesia.