Solidaritas ASEAN-China: Benteng Ekonomi Hadapi Gelombang Proteksionisme Global
Mengantisipasi Gelombang Proteksionisme: Peran Vital Solidaritas ASEAN-China
Sistem perdagangan global, fondasi kemakmuran bersama, kini tengah menghadapi tantangan serius. Kebijakan proteksionisme yang dipicu oleh tarif yang diterapkan oleh negara-negara besar terhadap mitra dagangnya, mengancam stabilitas ekonomi global yang telah dibangun selama beberapa dekade. Bagi ASEAN, yang pertumbuhan ekonominya sangat bergantung pada pasar terbuka, ancaman ini bukan lagi sekadar isu di kejauhan, melainkan krisis yang nyata.
Saat ini, lebih dari sebelumnya, negara-negara Asia Tenggara dan China perlu memperkuat persatuan untuk menghadapi kekuatan destabilisasi ini dan mempertahankan perdagangan bebas sebagai pilar utama masa depan ekonomi bersama. Kemitraan ekonomi antara ASEAN dan China telah lama menjadi contoh sukses kerja sama yang saling menguntungkan. Sejak tahun 2009, China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi ASEAN, sementara pada tahun 2020, ASEAN berhasil melampaui Uni Eropa (UE) sebagai mitra dagang terbesar bagi China.
Sinergi ini bukanlah kebetulan semata. Pasar konsumen China yang sangat besar selaras dengan ekonomi ASEAN yang dinamis dan berorientasi ekspor. Produk-produk dari Asia Tenggara, seperti barang elektronik dari Vietnam, minyak kelapa sawit dari Indonesia, dan suku cadang otomotif dari Thailand, mengalir deras ke pelabuhan-pelabuhan di China. Di sisi lain, investasi dan teknologi dari China meningkatkan infrastruktur dan inovasi di seluruh wilayah ASEAN.
Namun, interdependensi ini kini berada di bawah ancaman. Kebijakan "America First", yang ditandai dengan penerapan tarif, pembatasan ekspor, dan upaya untuk memindahkan rantai pasokan kembali ke dalam negeri, telah menimbulkan gejolak ekonomi global. Meskipun ASEAN belum menjadi target utama, surplus perdagangan yang signifikan dengan Amerika Serikat (AS) menjadikan kawasan ini rentan terhadap dampak negatif. Analis memperingatkan bahwa negara-negara dengan ekonomi yang sangat bergantung pada ekspor, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia, berpotensi menghadapi penurunan ekonomi yang serius jika terseret ke dalam perang dagang yang semakin intensif.
Strategi Kolaboratif: Membangun Ketahanan Ekonomi Regional
Perang dagang yang dipicu oleh AS menggambarkan realitas yang pahit. Dalam dunia yang saling terhubung saat ini, tarif bukanlah serangan yang terarah, melainkan bom klaster ekonomi. Ketika AS meningkatkan tarif terhadap barang-barang dari China, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pabrik-pabrik di China, tetapi juga oleh pabrik semikonduktor di Malaysia, pemasok komponen di Thailand, dan eksportir bahan baku di Indonesia, yang semuanya merupakan bagian tak terpisahkan dari rantai pasokan global. Investasi terhenti, ekspor menurun, dan ketidakpastian menjadi norma baru.
Untuk mengatasi ancaman yang semakin meningkat ini, ASEAN dan China perlu bergerak melampaui retorika dan mengambil tindakan yang berani dan terkoordinasi. Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang mencakup 30 persen dari produk domestik bruto (PDB) global, merupakan instrumen yang sangat penting. Selain itu, penyelesaian negosiasi ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) 3.0 pada bulan Oktober tahun lalu, menandai langkah penting dalam memperkuat ekonomi regional yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan mengurangi tarif, menyelaraskan standar, dan menyederhanakan regulasi, ASEAN dan China dapat membangun ketahanan ekonomi yang lebih kuat terhadap guncangan eksternal.
Mengurangi ketergantungan ASEAN pada pasar Barat juga sama pentingnya. Dengan menghilangkan hambatan non-tarif, meningkatkan infrastruktur, dan memperluas kerangka kerja perdagangan digital, ASEAN dapat membuka potensi ekonomi yang sangat besar. Investasi bersama di bidang logistik, teknologi hijau, dan mineral penting dapat semakin memperkuat rantai pasokan ASEAN-China, sehingga menjadikannya kurang rentan terhadap gangguan geopolitik.
Di tingkat global, ASEAN dan China harus memimpin upaya bersama untuk menegakkan multilateralisme. Upaya terkoordinasi di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan G20 dapat memperkuat suara negara-negara berkembang dan mendorong kekuatan proteksionis untuk menyesuaikan kembali kebijakan mereka. Sebagai ketua ASEAN tahun ini, Malaysia memegang peran kunci dalam memanfaatkan kekuatan diplomatiknya untuk mendorong agenda perdagangan yang bersatu padu.
Alternatifnya, dunia yang terfragmentasi dan proteksionis adalah dunia di mana ekonomi-ekonomi yang lebih kecil berisiko terjebak dalam pertempuran perang dagang yang dipicu oleh AS. ASEAN dan China harus memilih kerja sama daripada perpecahan, memilih visi jangka panjang daripada proteksionisme jangka pendek. Jalan menuju kemakmuran yang berkelanjutan akan tetap terbuka asalkan ASEAN dan China berjalan bersama.