Semarak Malam Ganjil Ramadan: Tradisi Unik di Jawa Timur Menyambut Lailatul Qadar
Malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan menjadi momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali di Jawa Timur. Di provinsi ini, masyarakat menyambut malam-malam penuh berkah tersebut dengan berbagai tradisi unik yang sarat makna, mulai dari ibadah hingga ritual adat yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Malam Lailatul Qadar, atau malam kemuliaan, menjadi puncak penantian. Umat Muslim berlomba-lomba meningkatkan amalan baik dan mendekatkan diri kepada Allah SWT di malam yang diyakini lebih baik dari seribu bulan ini. Lailatul Qadar dipercaya terjadi pada salah satu malam ganjil di antara sepuluh malam terakhir Ramadan, yaitu malam ke-21, 23, 25, 27, atau 29.
Berikut adalah beberapa tradisi khas Jawa Timur dalam menyambut malam-malam ganjil Ramadan:
-
Malam Selawe di Gresik:
Tradisi Malam Selawe adalah perayaan yang diadakan di Dusun Giri, Gresik, untuk menyambut malam ke-25 Ramadan. Tradisi ini diyakini telah ada sejak zaman Sunan Giri, salah satu Wali Songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di Jawa. Ritual ini biasanya dimulai pada tengah malam di masjid yang terletak di samping makam Sunan Giri, kemudian dilanjutkan pada malam ke-29 di makam Syekh Maulana Malik Ibrahim. Rangkaian acara ini ditutup dengan pasar bandeng dan pasar malam yang memeriahkan Kota Gresik. Tradisi ini melambangkan rasa syukur atas berkah dan nikmat yang dilimpahkan selama bulan Ramadan, serta sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh-tokoh penyebar agama Islam. * Colokan Songolikur di Bojonegoro:
Colokan Songolikur adalah tradisi yang dilakukan masyarakat Bojonegoro pada malam ke-29 Ramadan atau malam songolikur. Tradisi yang telah berlangsung sejak tahun 1980-an ini melibatkan pembuatan colok, yaitu lampu penerangan tradisional. Lampu-lampu ini terbuat dari kayu kecil yang dibalut kain pada ujungnya, kemudian dicelupkan ke dalam minyak tanah. Colok ditancapkan di sepanjang jalan atau di sudut-sudut rumah. Menjelang magrib, anggota keluarga akan menyalakan colok sambil bersahutan "colok colok malem songo" dengan riang.
Tradisi ini dimaknai sebagai penghormatan kepada arwah leluhur agar jalan mereka diterangi. Selain itu, api dalam tradisi colokan juga melambangkan penyucian diri dari dosa. * Bi'ibih di Bondowoso:
Masyarakat Bondowoso memiliki tradisi unik bernama Bi'ibih dalam menyambut Lailatul Qadar. Tradisi ini biasanya dilakukan pada waktu pergantian antara asar dan magrib (waktu Bi'ibih), terutama pada malam ke-25 dan ke-27 Ramadan. Dalam tradisi ini, masyarakat saling bersedekah nasi Bi'ibih kepada tetangga. Setiap rumah biasanya menyiapkan tujuh nasi Bi'ibih untuk dibagikan. Nasi Bi'ibih merupakan nasi yang dilengkapi dengan serundeng kelapa yang gurih dan dibungkus dengan daun pisang. Meskipun tradisi ini mulai jarang ditemukan, Bi'ibih mengajarkan pentingnya menjaga silaturahmi dan bersedekah di bulan Ramadan. * Sanggring Gumeno di Gresik:
Tradisi Sanggring Gumeno, atau dikenal juga sebagai tradisi kolak ayam, diadakan oleh masyarakat Desa Gumeno, Gresik, setiap malam ke-23 Ramadan, mulai dari waktu asar hingga sebelum salat magrib.
Tradisi ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2019. Menurut cerita yang beredar, tradisi ini berawal ketika Sunan Dalem (putra Sunan Giri) sembuh dari sakit parah setelah mengonsumsi kolak ayam. Sebagai wujud syukur, Sunan Dalem mewasiatkan agar kolak ayam disajikan setiap malam ke-23 Ramadan dalam Tradisi Sanggring. Selain memasak kolak ayam, acara ini juga meliputi pembacaan doa atau ujub yang diyakini sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Allah SWT di bulan Ramadan.
Tradisi-tradisi unik ini menambah semarak dan kekhusyukan Ramadan di Jawa Timur. Lebih dari sekadar ritual, tradisi-tradisi ini menyimpan nilai-nilai luhur seperti syukur, penghormatan leluhur, silaturahmi, dan sedekah. Dengan melestarikan tradisi ini, masyarakat Jawa Timur tidak hanya merayakan Ramadan, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan spiritual mereka.