Dedi Mulyadi: Antara Populisme, Kebijakan Kontroversial, dan Tantangan Kepemimpinan di Jawa Barat

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mencuri perhatian publik melalui serangkaian gebrakan kontroversial sejak pelantikannya pada 20 Februari 2025. Alih-alih mengikuti arus birokrasi yang lazim, Dedi Mulyadi, yang akrab disapa KDM, memilih jalur yang tidak konvensional dalam merespons permasalahan masyarakat. Langkah-langkahnya mencerminkan gaya kepemimpinan yang populis, namun juga memicu perdebatan dan tantangan.

Kebijakan Kontroversial dan Aksi Lapangan

KDM dikenal karena keberaniannya mengambil tindakan tegas, termasuk menutup tempat wisata ilegal di Puncak sebagai wujud komitmen terhadap pelestarian lingkungan. Ia juga turun langsung membersihkan Sungai Citarum dan Cipalabuan, sungai yang menjadi simbol masalah lingkungan kronis di Jawa Barat. Upaya penanganan banjir di kota-kota besar seperti Bekasi, Sukabumi, dan Bandung juga menjadi fokus utama, termasuk penggusuran bangunan liar di bantaran sungai tanpa pandang bulu.

Selain masalah lingkungan, KDM juga menyoroti keberlanjutan sumber daya alam. Ia menghentikan aktivitas pertambangan ilegal dan menginstruksikan pengembalian fungsi lahan yang dialihfungsikan untuk bisnis, serta meminta PTPN untuk fokus pada fungsi perkebunan daripada menyewakan lahan kepada pihak swasta. Kebijakan penghapusan tunggakan pajak kendaraan bermotor juga disambut antusias oleh masyarakat. Menariknya, KDM tak jarang menggunakan dana pribadi untuk mendukung program-programnya, sebuah langkah yang semakin memperkuat citranya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.

Populisme sebagai Strategi Politik

Gaya kepemimpinan KDM kental dengan nuansa populisme. Dalam konteks ini, populisme dipahami sebagai pendekatan politik yang menekankan pada kehendak rakyat biasa dan menentang kepentingan elite. Meskipun populisme seringkali dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas demokrasi, namun juga dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika demokrasi, ekspresi ketidakpuasan terhadap sistem yang ada. Populisme selalu anti-elitis dan berusaha memposisikan pemimpin sebagai figur karismatik yang mewakili "rakyat sejati" melawan sistem yang dikuasai oleh oligarki.

Strategi politik populisme KDM tercermin dalam tiga dimensi utama: diskursif, ideasional, dan material.

  • Dimensi Diskursif: Penggunaan narasi dan retorika yang membangkitkan emosi, namun tetap rasional dan komunikatif.
  • Dimensi Ideasional: Upaya menarik dukungan melalui faktor kognitif dan emosional, seperti keterikatan emosional, simpati, dan keyakinan individu.
  • Dimensi Material: Pemanfaatan jaringan sosial-ekonomi, kapasitas distribusi pengaruh, serta dukungan finansial untuk memperkuat posisi politik.

Tantangan dan Risiko Kebijakan Populis

Kebijakan populis KDM bukan tanpa risiko. Meskipun mendapat dukungan dari masyarakat, ia juga menghadapi tantangan dari birokrasi yang merasa terganggu oleh kebijakan yang dianggap mengabaikan prosedur. Resistensi dari dalam pemerintahan daerah dapat menghambat implementasi kebijakan. Selain itu, kebijakan KDM juga berpotensi berbenturan dengan kepentingan ekonomi yang lebih besar, seperti pengembangan pariwisata dan pertambangan. Hal ini dapat memicu perlawanan dari kelompok bisnis yang memiliki pengaruh kuat.

Mempertahankan kepercayaan publik dalam jangka panjang juga menjadi tantangan tersendiri. Ekspektasi yang tinggi terhadap keberhasilan kebijakan dapat menjadi bumerang jika hasilnya tidak sesuai harapan. KDM juga harus menghadapi tantangan politik yang lebih luas, terutama dalam konteks kekuasaan dan siklus politik yang dinamis. Kebijakan-kebijakannya yang sangat bergantung pada aksi pribadi rentan terhadap perubahan yang tak terduga, terutama dari lawan politik.

Kearifan Lokal dan Keberlanjutan

Tantangan terbesar bagi KDM adalah mengelola identitas budaya dalam kebijakan lingkungan. Ia menggunakan prinsip kearifan ekologi Sunda sebagai dasar ideologi kepemimpinannya, memadukan nilai-nilai lokal dengan kebijakan modern. Hal ini dapat menarik dukungan publik, namun KDM harus memastikan bahwa kebijakan tersebut berbasis pada ilmu pengetahuan dan riset yang solid, bukan sekadar simbolisme budaya. Keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam setiap tahap implementasi kebijakan sangat penting untuk keberlanjutan dan dampak positif yang nyata.

KDM dapat bekerja sama dengan universitas dan lembaga riset untuk merancang kebijakan berbasis riset yang menghargai tradisi dan didukung oleh pengetahuan ilmiah yang sahih. Keseimbangan antara retorika yang menggugah emosi dan substansi kebijakan yang berbasis pada solusi nyata dan terukur akan menentukan keberhasilannya dalam jangka panjang. Jika KDM mampu mewujudkan hal ini, ia tidak hanya akan menjadi pemimpin yang sukses, tetapi juga simbol perubahan yang menginspirasi para pemimpin daerah lainnya di Indonesia.