Anomali Iklim: BMKG Ungkap Potensi Kenaikan Frekuensi Siklon Tropis di Indonesia, Tantangan Teori Meteorologi Klasik

Anomali Iklim: BMKG Ungkap Potensi Kenaikan Frekuensi Siklon Tropis di Indonesia, Tantangan Teori Meteorologi Klasik

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan kekhawatiran mendalam mengenai potensi peningkatan frekuensi kejadian siklon tropis di wilayah Indonesia. Pernyataan ini menantang pemahaman teoritis yang selama ini diyakini, yang menyatakan bahwa Indonesia seharusnya terhindar dari dampak langsung badai siklon.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam Webinar Refleksi Banjir JABODETABEK: Strategi Tata Ruang dan Mitigasi Cuaca Ekstrem, yang disiarkan melalui kanal YouTube InfoBMKG, menjelaskan bahwa fenomena ini terkait erat dengan dampak lanjutan dari peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Peningkatan gas rumah kaca berkontribusi pada naiknya suhu permukaan laut, yang kemudian memicu pembentukan sirkulasi siklonik.

"Sirkulasi siklonik yang semakin sering terjadi dan dengan intensitas yang semakin kuat, pada akhirnya berkembang menjadi bibit siklon dan kemudian berevolusi menjadi badai tropis atau siklon tropis," ungkap Dwikorita.

Teori Meteorologi vs. Realitas: Tantangan Perubahan Iklim

Secara teoritis, berdasarkan prinsip-prinsip meteorologi, wilayah Indonesia seharusnya aman dari ancaman langsung siklon tropis. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa badai siklon cenderung tidak mampu menembus wilayah yang terletak di antara 10 derajat lintang utara dan 10 derajat lintang selatan, yang mencakup sebagian besar wilayah Indonesia. Alasan di balik fenomena ini adalah kecepatan rotasi bumi yang paling tinggi di wilayah ekuator, yang meningkatkan gaya Coriolis dan berfungsi sebagai penghalang alami bagi pergerakan badai tropis.

Namun, teori ini telah terpatahkan oleh pengalaman pahit di tahun 2021, ketika Badai Seroja menerjang Nusa Tenggara Timur (NTT). Badai dahsyat ini menyebabkan kerusakan parah dan menelan korban jiwa yang signifikan, dengan 182 orang meninggal dunia, 47 orang hilang, 184 orang mengalami luka-luka, dan lebih dari 84.000 orang terpaksa mengungsi. Selain itu, sekitar 46.000 rumah mengalami kerusakan akibat terjangan badai.

Meningkatnya Kekhawatiran dan Perlunya Tindakan Mitigasi

Pengalaman tragis Badai Seroja menjadi pengingat yang jelas bahwa perubahan iklim telah mengubah lanskap ancaman bencana alam di Indonesia. BMKG menyampaikan kekhawatiran serius bahwa kejadian siklon tropis dapat menjadi lebih sering terjadi di masa mendatang jika tidak ada upaya yang signifikan untuk mengendalikan laju peningkatan suhu udara permukaan dan suhu permukaan laut.

"Ini merupakan anomali dari ilmu meteorologi, dan hal ini sudah terjadi. Dikhawatirkan akan lebih sering terjadi apabila kita tidak mampu mengendalikan laju kenaikan suhu, baik suhu udara permukaan maupun suhu muka air laut," tegas Dwikorita.

Oleh karena itu, BMKG menekankan perlunya tindakan mitigasi yang komprehensif dan terkoordinasi untuk mengurangi risiko dan dampak dari potensi kejadian siklon tropis di Indonesia. Hal ini meliputi peningkatan sistem peringatan dini, penguatan infrastruktur yang tahan terhadap bencana, serta upaya-upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperlambat laju perubahan iklim secara global.

Langkah Antisipasi Menghadapi Ancaman Siklon Tropis

Untuk menghadapi ancaman siklon tropis yang semakin nyata, diperlukan langkah-langkah antisipasi yang terencana dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa rekomendasi kunci:

  • Peningkatan Sistem Peringatan Dini: Investasi pada teknologi dan infrastruktur untuk memantau dan memprediksi perkembangan siklon tropis secara akurat dan tepat waktu. Informasi peringatan dini harus disebarluaskan secara efektif kepada masyarakat, terutama di wilayah-wilayah yang rentan.
  • Penguatan Infrastruktur: Memastikan bahwa infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, bendungan, dan bangunan publik dibangun dengan standar yang tahan terhadap bencana alam, termasuk angin kencang dan banjir.
  • Tata Ruang yang Berkelanjutan: Mengembangkan tata ruang yang mempertimbangkan risiko bencana alam dan membatasi pembangunan di wilayah-wilayah yang rentan terhadap banjir dan longsor.
  • Edukasi dan Sosialisasi: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko siklon tropis dan cara-cara untuk melindungi diri dan keluarga dalam situasi darurat. Pelatihan evakuasi dan simulasi bencana perlu dilakukan secara berkala.
  • Kerjasama Multisektoral: Membangun kerjasama yang erat antara pemerintah, lembaga penelitian, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Dengan mengambil langkah-langkah proaktif dan berkelanjutan, Indonesia dapat mengurangi risiko dan dampak dari siklon tropis, serta membangun masyarakat yang lebih tangguh terhadap perubahan iklim.