Revisi UU TNI: Peran Ganda di Dunia Maya Picu Kekhawatiran Tumpang Tindih Kewenangan
Revisi UU TNI: Peran Ganda di Dunia Maya Picu Kekhawatiran Tumpang Tindih Kewenangan
Jakarta - Rencana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan ancaman siber melalui revisi Undang-Undang (UU) TNI menuai sorotan. Kalangan pengamat menilai, perlu ada penjabaran yang lebih rinci dan terukur mengenai peran dan batasan wewenang TNI di ruang siber guna menghindari potensi konflik kepentingan dan tumpang tindih dengan lembaga lain yang telah memiliki mandat serupa.
Pieter Pandie, seorang peneliti Hubungan Internasional dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menekankan pentingnya kejelasan aturan untuk mencegah terjadinya disorientasi dan perselisihan antar lembaga negara. Hal ini diungkapkannya dalam sebuah diskusi terkait RUU TNI di Jakarta.
"Tanpa definisi yang jelas mengenai peran konkret TNI, justru akan tercipta kebingungan dan konflik antar lembaga," ujar Pieter.
Tumpang Tindih Kewenangan
Kekhawatiran ini didasari oleh fakta bahwa isu keamanan siber saat ini telah menjadi domain dari berbagai kementerian dan lembaga, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Masing-masing lembaga memiliki tugas dan fungsi yang spesifik dalam menjaga keamanan dan stabilitas ruang siber nasional.
Kominfo, misalnya, memiliki tanggung jawab dalam merumuskan kebijakan, melakukan pengawasan, dan mengkoordinasikan administrasi terkait tata kelola digital. Sementara itu, BSSN, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2021, bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan keamanan siber dan sandi, serta menetapkan standar teknis yang relevan.
Lebih lanjut, Pieter menyoroti adanya potensi tumpang tindih dengan kewenangan lembaga kepolisian. RUU Polri yang sedang dalam proses revisi juga memberikan wewenang kepada Polri untuk memantau dan mengamankan ruang siber, termasuk melakukan pemutusan akses atau perlambatan internet demi kepentingan keamanan dalam negeri.
"Revisi UU TNI ini perlu dipertanyakan. Apa bentuk konkret peran TNI dalam penanganan ancaman siber? Lembaga mana yang akan menangani apa? Ancaman siber apa saja yang akan masuk dalam kewenangan TNI?," tanyanya.
Urgensi Pelibatan TNI
Selain persoalan tumpang tindih kewenangan, Pieter juga mempertanyakan urgensi pelibatan TNI di ruang siber. Ia menyoroti perlunya justifikasi yang kuat mengenai ancaman siber seperti apa yang dihadapi Indonesia sehingga memerlukan keterlibatan angkatan bersenjata.
Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab secara jelas dalam revisi UU TNI. Kejelasan ini sangat penting untuk mencegah:
- Tumpang tindih kewenangan.
- Inefisiensi.
- Pelemahan lembaga-lembaga yang sudah ada yang dimandatkan untuk urusan-urusan siber.
Potensi Dominasi Sektor Keamanan
Pieter juga mewanti-wanti bahwa pelibatan TNI di ruang siber berpotensi membuat penanganan isu siber menjadi lebih terpusat dan didominasi oleh sektor keamanan. Hal ini dapat menggeser pendekatan yang lebih holistik dan inklusif yang selama ini telah dibangun.
"Pelibatan TNI juga, dalam pandangan saya, berisiko membuat penanganan isu siber ini menjadi lebih top-down dari sekarang yang sudah ada dan lebih sekuritas," imbuhnya.
Sebagai informasi, RUU TNI menambahkan tugas pokok TNI yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (15) dan (16) terkait tugas pokok TNI. Pasal 7 Ayat (15) menambahkan tugas soal membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber. Ayat selanjutnya terkait tugas membantu dalam melindungi dan menyelamatkan Warga Negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Oleh karena itu, revisi UU TNI yang mengatur pelibatan TNI dalam ruang siber harus dilakukan secara hati-hati dan komprehensif. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ahli hukum, praktisi keamanan siber, dan masyarakat sipil, sangat penting untuk memastikan bahwa aturan yang dihasilkan dapat menjawab tantangan keamanan siber tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabel.