Jejak Misteri Masjid Songak: Warisan Abadi di Lombok Timur
Masjid Songak: Simbol Sejarah dan Tradisi yang Tak Terungkap di Lombok Timur
Di tengah hamparan tanah Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, berdiri sebuah bangunan kuno yang menyimpan teka-teki sejarah: Masjid Songak. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai 'masjid bengan' atau masjid tua, sebuah julukan yang mencerminkan usianya yang telah melampaui ingatan kolektif penduduk Desa Songak, Kecamatan Sakra.
"Pada dasarnya semua orang di Desa Songak ini tidak tahu persis kapan didirikan masjid ini," ungkap Murdiyah, tokoh lembaga adat Desa Songak.
Misteri yang menyelimuti Masjid Songak bukan hanya tentang waktu pendiriannya, tetapi juga tentang sosok atau kelompok yang pertama kali membangunnya. Ketiadaan catatan sejarah atau bukti fisik yang kuat membuat asal-usul masjid ini tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga kini.
Jejak Sejarah yang Samar
Kendati demikian, beberapa petunjuk sejarah muncul dari penelitian akademis dan cerita turun-temurun. Menurut Murdiyah, beberapa sumber mengindikasikan bahwa Masjid Songak telah berdiri 30 tahun sebelum letusan dahsyat Gunung Samalas pada tahun 1258 Masehi. Jika benar, usia masjid ini dapat mencapai lebih dari 800 tahun, menjadikannya salah satu situs bersejarah tertua di Lombok.
Cerita lain mengaitkan keberadaan Desa Songak dengan tokoh bernama Guru Kodan yang berasal dari Jurang Koak. Guru Kodan dan pengikutnya mengungsi ke wilayah ini setelah letusan Gunung Samalas dan menemukan Masjid Songak yang telah berdiri. Kehadiran masjid ini kemudian menjadi alasan bagi mereka untuk menetap dan membangun permukiman yang kemudian dikenal sebagai Desa Songak.
Renovasi dan Pemeliharaan: Menjaga Warisan Tanpa Mengubah Jati Diri
Seiring berjalannya waktu, Masjid Songak telah mengalami beberapa kali renovasi untuk menjaga kelayakannya sebagai tempat ibadah. Lantai masjid telah dipasangi keramik, atap ilalang telah diperbarui, dan area teras telah diperluas untuk menampung lebih banyak jamaah. Namun, upaya renovasi ini selalu berpegang pada prinsip "memelihara apa adanya dan memanfaatkan sebagaimana fungsinya," sebagaimana diamanatkan oleh kaidah Nahdlatul Ulama.
Beberapa elemen asli bangunan tetap dipertahankan, termasuk empat tiang penyangga utama di dalam masjid dan luas bangunan yang tetap 9x9 meter persegi. Hal ini menunjukkan komitmen masyarakat Desa Songak untuk menjaga warisan leluhur tanpa mengorbankan kenyamanan dan fungsi masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan.
Ritual Adat yang Lestari
Masjid Songak bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan budaya dan ritual adat. Tiga ritual khusus yang rutin dilaksanakan di masjid ini adalah Ritual Bubur Beaq pada bulan Muharram, Ritual Bubur Puteq pada bulan Safar, dan Maulid Adat pada bulan Rabiul Awal.
- Ritual Bubur Beaq: Ritual ini khusus bagi orang-orang yang lahir pada bulan Safar. Mereka datang ke masjid untuk mengambil air yang telah didoakan dengan harapan dapat menghilangkan sifat-sifat buruk.
- Ritual Bubur Puteq: Ritual ini dilaksanakan dengan zikir dan doa sebagai wujud penghormatan dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Maulid Adat: Ritual ini dilaksanakan pada 12 Rabiul Awal untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Masyarakat setempat membuat Minyak Songak, obat tradisional yang dipercaya memiliki khasiat penyembuhan. Selain itu, senjata pusaka milik warga juga dibawa ke masjid untuk dimandikan dengan air kembang (wukuf).
Masjid Songak adalah bukti nyata bahwa warisan sejarah dan budaya dapat hidup berdampingan dengan modernitas. Meskipun asal-usulnya masih menjadi misteri, keberadaan masjid ini telah memberikan identitas dan kebanggaan bagi masyarakat Desa Songak. Upaya pelestarian dan pemeliharaan yang terus dilakukan adalah wujud nyata dari kecintaan mereka terhadap warisan leluhur yang tak ternilai harganya.