Sejarah Panjang di Balik Siklus Tujuh Hari: Dari Babilonia Kuno Hingga Kalender Modern

Mengungkap Misteri Dibalik Pekan Tujuh Hari: Jejak Peradaban Kuno Hingga Standar Global

Kita hidup dalam ritme pekan yang teratur, dengan tujuh hari yang menandai siklus kerja, istirahat, dan kegiatan sosial. Namun, pernahkah kita bertanya, mengapa harus tujuh hari? Darimana asal-usul sistem pekan tujuh hari yang kita gunakan saat ini? Jawabannya ternyata melibatkan perjalanan panjang melintasi sejarah, budaya, dan astronomi, dimulai dari peradaban kuno hingga menjadi standar global yang kita kenal.

Akar Sejarah di Babilonia dan Pengaruhnya

Sistem pekan tujuh hari tidak muncul begitu saja. Akarnya dapat ditelusuri hingga peradaban Babilonia, yang terletak di wilayah Irak modern. Bangsa Babilonia dikenal sebagai pengamat langit yang ulung. Mereka mengamati tujuh benda langit yang dapat dilihat dengan mata telanjang: Matahari, Bulan, Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus. Pengamatan ini menjadi dasar bagi sistem penanggalan mereka.

Bangsa Babilonia membagi bulan lunar, yang berlangsung sekitar 29,5 hari, menjadi empat pekan. Setiap pekan terdiri dari tujuh hari. Hari terakhir dalam setiap pekan memiliki makna keagamaan khusus. Pembagian ini memudahkan pengelolaan waktu dan memberikan struktur pada kehidupan sehari-hari.

Pengaruh Babilonia menyebar luas ke berbagai wilayah di Asia Barat, Balkan, dan Afrika Utara. Bangsa Yahudi, yang pernah berada dalam pembuangan di Babilonia, mengadopsi sistem ini. Kekaisaran Persia dan Yunani juga mengikuti jejak yang sama. Ketika budaya Yunani menyebar luas, konsep pekan tujuh hari turut menyebar ke berbagai wilayah, termasuk India, yang kemudian memperkenalkan sistem ini ke China.

Romawi: Standardisasi dan Pengaruh Agama

Kekaisaran Romawi memainkan peran penting dalam standardisasi sistem pekan tujuh hari. Setelah menaklukkan wilayah yang dipengaruhi oleh Alexander Agung, bangsa Romawi mengadopsi sistem ini dan menjadikannya resmi pada tahun 321 Masehi. Kaisar Konstantinus menetapkan hari Minggu sebagai hari libur umum, yang semakin memperkuat eksistensi sistem pekan tujuh hari.

Sebelum mengadopsi sistem tujuh hari, bangsa Romawi menggunakan sistem kalender nundinal, yang terdiri dari delapan hari dalam seminggu. Sistem ini digunakan untuk mengatur jadwal pasar. Setiap delapan hari, masyarakat desa datang ke kota untuk berbelanja kebutuhan mereka. Namun, sistem tujuh hari akhirnya lebih disukai dan menggantikan sistem nundinal.

Penamaan Hari dan Warisan Mitologi

Bangsa Babilonia menamai setiap hari dalam seminggu berdasarkan lima planet yang mereka ketahui (Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus), serta Matahari dan Bulan. Bangsa Romawi mengadopsi sistem ini dan menamai hari-hari dalam seminggu berdasarkan nama dewa-dewa mereka yang sesuai dengan planet-planet tersebut.

Sistem penamaan ini kemudian mempengaruhi nama-nama hari dalam bahasa Inggris yang kita gunakan saat ini. Berikut adalah asal-usul nama hari dalam bahasa Inggris:

  • Sunday (Minggu): Berasal dari bahasa Inggris Kuno Sunnandæg, yang merupakan adaptasi dari bahasa Latin dies solis (hari Matahari). Dalam mitologi Nordik, Matahari dipersonifikasikan sebagai dewi bernama Sunna atau Sól.
  • Monday (Senin): Berasal dari bahasa Inggris Kuno Mōnandæg, yang berasal dari Máni, personifikasi bulan dalam mitologi Nordik.
  • Tuesday (Selasa): Berasal dari Tīwesdæg, merujuk pada Tiw atau Tyr, dewa perang dalam mitologi Nordik, yang sejajar dengan dewa Mars dalam mitologi Romawi.
  • Wednesday (Rabu): Berasal dari Wōdnesdæg, merujuk pada Woden atau Odin, dewa kebijaksanaan, sihir, dan kemenangan dalam mitologi Nordik. Romawi menghubungkan Odin dengan Merkurius.
  • Thursday (Kamis): Berasal dari Thor's day, merujuk pada dewa petir dan perlindungan Nordik, Thor. Dalam mitologi Romawi, Thor dikaitkan dengan Jupiter.
  • Friday (Jumat): Berasal dari Frīgedæg, yang merujuk pada Frigg, istri Odin, yang sering dikaitkan dengan Venus, dewi cinta dan kecantikan dalam mitologi Romawi.
  • Saturday (Sabtu): Berasal dari Sæturnesdæg, yang mempertahankan nama Romawi untuk Saturnus, tanpa pengaruh dari mitologi Nordik.

Resistensi Terhadap Perubahan dan Kekuatan Tradisi

Pada abad ke-20, muncul upaya untuk mengubah sistem pekan tujuh hari. Beberapa orang mengusulkan untuk menambah jumlah hari dalam seminggu atau melakukan penyesuaian lain. Namun, upaya-upaya ini gagal karena sistem pekan tujuh hari sudah mengakar kuat di berbagai budaya di seluruh dunia.

Sistem pekan tujuh hari adalah contoh bagaimana tradisi dan warisan budaya dapat bertahan lama dan mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Meskipun asal-usulnya dapat ditelusuri hingga peradaban kuno, sistem ini tetap relevan dan digunakan secara universal hingga saat ini.

Dari pengamatan langit bangsa Babilonia hingga standardisasi oleh Kekaisaran Romawi, siklus tujuh hari telah menjadi bagian integral dari peradaban manusia. Lebih dari sekadar perhitungan waktu, ia adalah cerminan sejarah, budaya, dan kepercayaan yang membentuk cara kita menjalani hidup.