DPR Menggodok Revisi KUHAP: Keadilan Restoratif Hingga Imunitas Advokat Menjadi Sorotan

Revisi KUHAP Bergulir di Parlemen: Transformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebuah langkah signifikan dalam upaya modernisasi dan penyempurnaan sistem peradilan pidana di Indonesia. Pembahasan ini melibatkan serangkaian rapat dengar pendapat (RDP) dengan berbagai pihak terkait untuk menjaring masukan dan memastikan bahwa revisi yang dihasilkan dapat mengakomodasi kebutuhan hukum dan keadilan masyarakat.

Poin-Poin Krusial dalam Revisi KUHAP

Revisi KUHAP ini mencakup sejumlah poin penting yang diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia. Beberapa poin krusial yang menjadi fokus utama dalam revisi ini meliputi:

  • Keadilan Restoratif (Restorative Justice):

    Salah satu terobosan utama dalam revisi KUHAP adalah dimasukkannya mekanisme keadilan restoratif. Mekanisme ini memberikan peluang untuk penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, dengan menekankan pada pemulihan kerugian korban dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan tren global dalam sistem peradilan pidana yang semakin mengedepankan pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada korban. Meskipun awalnya terdapat pengecualian terhadap tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, Komisi III DPR RI memastikan bahwa pasal ini juga dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. * Penyelidikan dan Penyidikan:

    Revisi KUHAP juga melakukan pembaruan terhadap definisi penyidik, dengan membagi menjadi tiga jenis: penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Penyidik Tertentu. PPNS mencakup berbagai bidang seperti Bea Cukai, Imigrasi, dan Perikanan, sementara Penyidik Tertentu meliputi penyidik KPK, Kejaksaan, dan OJK. Selain itu, revisi ini juga mengatur bahwa laporan terkait tindak pidana dapat diterima melalui media telekomunikasi atau elektronik resmi milik aparat penegak hukum. * Penangkapan dan Penahanan:

    Revisi KUHAP memperjelas bahwa tidak semua penyidik memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan. Kewenangan ini terutama diberikan kepada penyidik Polri dan beberapa penyidik tertentu. PPNS dan penyidik tertentu lainnya hanya dapat melakukan penangkapan dan penahanan atas perintah penyidik Polri, dengan pengecualian terhadap penyidik dari kejaksaan, KPK, dan TNI Angkatan Laut (AL). Revisi ini juga mengatur bahwa penangkapan dapat dilakukan lebih dari satu hari dalam kondisi tertentu, seperti jarak antara tempat tersangka dan penyidik yang membutuhkan waktu tempuh lebih dari satu hari. * Kewenangan Penyadapan:

    Salah satu poin kontroversial dalam revisi KUHAP adalah pemberian kewenangan kepada penyidik untuk melakukan upaya paksa, termasuk penyadapan. Upaya paksa ini meliputi penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, pemeriksaan surat, dan larangan bagi tersangka untuk keluar wilayah Indonesia. Kewenangan penyadapan ini menimbulkan kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan dan pelanggaran privasi, sehingga perlu diatur dengan sangat hati-hati dan transparan. * Imunitas Advokat:

    Revisi KUHAP juga mengusulkan pemberian hak imunitas kepada advokat, sehingga mereka tidak dapat dituntut di dalam maupun di luar pengadilan selama menjalankan profesinya dengan etiket baik dan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Usulan ini bertujuan untuk melindungi advokat dari intimidasi dan memberikan mereka kebebasan untuk membela kepentingan klien mereka tanpa rasa takut. * Pengaturan Siaran Langsung Persidangan:

    Revisi KUHAP mengusulkan agar siaran langsung persidangan hanya diperbolehkan atas izin majelis hakim. Hal ini bertujuan untuk mencegah pengaruh terhadap keterangan saksi dan menjaga integritas proses persidangan. * Penguatan Peran Advokat:

    Revisi KUHAP juga berupaya memperkuat peran advokat dalam proses hukum. Advokat tidak hanya dapat mendampingi tersangka, tetapi juga saksi dan korban. Selain itu, advokat juga diberikan hak untuk menyampaikan keberatan jika terjadi intimidasi terhadap orang yang diperiksa. Revisi ini juga mewajibkan pemasangan CCTV di ruang pemeriksaan dan penahanan untuk mencegah kekerasan selama proses penegakan hukum.

Target Penyelesaian dan Implikasi

Komisi III DPR menargetkan pembahasan RUU KUHAP ini dapat rampung pada tahun ini, sehingga dapat berlaku pada tahun 2026 bersamaan dengan UU KUHP yang baru. Revisi KUHAP ini diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dengan menciptakan proses yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Namun, keberhasilan revisi ini sangat bergantung pada partisipasi aktif dari seluruh pihak terkait, serta pengawasan yang ketat terhadap implementasinya.

Dengan adanya revisi KUHAP ini, diharapkan sistem peradilan pidana di Indonesia dapat semakin modern dan responsif terhadap perkembangan zaman, serta mampu memberikan keadilan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat.