Polemik SKCK: Penghapusan Diusulkan, Polri Pertahankan Demi Pelayanan Masyarakat
Kontroversi SKCK: Antara Hak Mantan Narapidana dan Pelayanan Publik
Usulan penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memicu perdebatan sengit. Kemenkumham berpendapat bahwa SKCK menjadi penghalang bagi mantan narapidana untuk mendapatkan pekerjaan dan kembali ke masyarakat, sementara Polri bersikeras bahwa SKCK merupakan bagian dari pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat.
Argumen Kemenkumham: Melindungi Hak Asasi Mantan Narapidana
Kemenkumham, melalui Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM, Nicholay Aprilindo, menyatakan bahwa Menteri Hukum dan HAM telah mengirimkan surat usulan kepada Kapolri untuk mencabut SKCK. Usulan ini didasarkan pada kajian mendalam yang dilakukan Kemenkumham, baik secara akademis maupun praktis.
- Kemenkumham menemukan fakta bahwa banyak mantan narapidana yang kembali melakukan tindak kriminal karena kesulitan mendapatkan pekerjaan setelah bebas dari penjara.
- SKCK, yang menjadi syarat dalam banyak lowongan pekerjaan, menjadi beban berat bagi mereka karena mencantumkan catatan kriminal mereka.
- Hal ini, menurut Kemenkumham, melanggar hak asasi mantan narapidana untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan normal, serta melanggengkan stigma negatif terhadap mereka.
Kemenkumham berpendapat bahwa setiap manusia, termasuk narapidana, memiliki hak asasi yang melekat sejak lahir dan tidak dapat dicabut. Penghapusan SKCK, menurut mereka, akan membantu menegakkan, memenuhi, dan memperkuat hak asasi mantan narapidana.
Respons Polri: SKCK adalah Pelayanan Publik yang Diatur Undang-Undang
Polri, melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, memberikan respons atas usulan Kemenkumham. Polri menyatakan bahwa SKCK lahir dari kebutuhan masyarakat, terutama untuk melamar pekerjaan. SKCK merupakan salah satu fungsi operasional Polri yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
- Polri menegaskan bahwa hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan diatur dalam konstitusi.
- Pemberian layanan SKCK diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15 Ayat 1 dan huruf K, serta dalam Peraturan Polri Nomor 6 Tahun 2023.
- Polri berkomitmen untuk terus memperbaiki proses pembuatan SKCK agar tidak menghambat masyarakat.
Polri terbuka terhadap masukan positif dari Kemenkumham dan akan mempertimbangkan masukan tersebut untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun, Polri tetap berpendirian bahwa SKCK tetap diperlukan sebagai bagian dari pelayanan publik.
Mencari Titik Temu: Solusi Terbaik untuk Semua Pihak
Polemik antara Kemenkumham dan Polri mengenai SKCK menunjukkan adanya perbedaan pandangan mengenai bagaimana cara terbaik untuk menyeimbangkan hak-hak mantan narapidana dengan kebutuhan masyarakat akan keamanan dan ketertiban. Diperlukan dialog yang konstruktif antara kedua belah pihak untuk mencari titik temu dan solusi terbaik yang dapat diterima oleh semua pihak.
Beberapa opsi yang mungkin dapat dipertimbangkan antara lain:
- Revisi Regulasi SKCK: Memperketat informasi yang dicantumkan dalam SKCK, misalnya hanya mencantumkan jenis kejahatan tertentu atau menghapus catatan kriminal setelah jangka waktu tertentu.
- Program Rehabilitasi dan Pelatihan: Meningkatkan program rehabilitasi dan pelatihan bagi narapidana agar mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bersaing di pasar kerja setelah bebas dari penjara.
- Insentif bagi Perusahaan: Memberikan insentif kepada perusahaan yang bersedia mempekerjakan mantan narapidana.
Dengan mencari solusi yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan mantan narapidana dapat memiliki kesempatan yang sama untuk kembali ke masyarakat dan berkontribusi secara positif, tanpa mengorbankan keamanan dan ketertiban masyarakat.