UU TNI dan Urgensi Demokrasi Deliberatif: Studi Kasus dan Model Implementasi

Membangun Legitimasi Kebijakan: Analisis Demokrasi Deliberatif dalam Pembentukan UU TNI

Pengesahan Undang-Undang TNI, khususnya terkait peran militer di ranah sipil, memicu perdebatan sengit dan menyoroti sebuah tantangan krusial dalam praktik demokrasi di Indonesia: bagaimana mewujudkan demokrasi deliberatif yang efektif?

Inti dari demokrasi deliberatif, seperti yang digagas oleh Jürgen Habermas, adalah bahwa legitimasi sebuah keputusan politik bersumber dari proses diskursus publik yang inklusif. Bukan sekadar mengandalkan mekanisme voting dan suara mayoritas (demokrasi agregatif), demokrasi deliberatif menekankan dialog terbuka, pertukaran argumentasi rasional, dan upaya mencapai konsensus yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kasus UU TNI menjadi contoh nyata bagaimana absennya proses deliberasi yang memadai dapat memicu resistensi publik.

Undang-undang memang diperlukan untuk memberikan kepastian hukum, sejalan dengan prinsip nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Akan tetapi, pembentukan UU TNI yang minim partisipasi publik justru menciptakan masalah legitimasi. Penolakan, bahkan demonstrasi, muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan masyarakat yang merasa suara mereka tidak didengar.

Belajar dari Negara Lain: Model Demokrasi Deliberatif yang Berhasil

Beberapa negara telah berhasil mengimplementasikan model demokrasi deliberatif yang dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia:

  • Denmark: Tradisi "folketing hearings" dan "consensus conferences" melibatkan warga, ahli, dan pembuat kebijakan dalam diskusi mendalam sebelum pengambilan keputusan. Proses ini memakan waktu, tetapi menghasilkan kebijakan dengan legitimasi sosial yang kuat dan minim resistensi.
  • Selandia Baru: Selama pandemi COVID-19, pemerintah PM Jacinda Ardern mengedepankan transparansi dan komunikasi dua arah. Keputusan sulit seperti lockdown nasional mendapatkan kepatuhan tinggi karena warga merasa dilibatkan.
  • Jerman: Melalui korporatisme demokratik, asosiasi sipil, serikat pekerja, organisasi bisnis, dan kelompok kepentingan secara rutin dilibatkan dalam perumusan kebijakan publik. Bundesrat, yang mewakili negara-negara bagian (Länder), menjadi forum deliberasi antar berbagai tingkat pemerintahan.
  • Kanada: "Citizens' Assemblies" dibentuk untuk membahas isu-isu kontroversial seperti reformasi elektoral. Warga yang dipilih secara acak mempelajari, mendiskusikan, dan membuat rekomendasi kebijakan. Proses ini memperluas partisipasi publik dan membangun kapasitas deliberatif warga.

Dinamika Partisipasi Publik di Asia Tenggara

Penerapan demokrasi deliberatif di Asia Tenggara bervariasi:

  • Singapura: Awalnya dikenal dengan pendekatan top-down, Singapura kini mulai mengadopsi program seperti "Our Singapore Conversation" untuk melibatkan warga dalam diskusi kebijakan.
  • Thailand: Pasca-kudeta 2014, kurangnya deliberasi dalam pembuatan undang-undang memicu protes yang menuntut reformasi konstitusi dan demokratisasi.
  • Malaysia: Reformasi elektoral 2018 didahului oleh gerakan masyarakat sipil seperti Bersih, yang menuntut proses politik yang lebih transparan dan partisipatif. Pasca-2018, pemerintahan Pakatan Harapan mencoba mengadopsi pendekatan yang lebih deliberatif melalui konsultasi publik reguler.
  • Filipina: Local Government Code tahun 1991 mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk Local Development Councils dengan representasi dari NGO dan organisasi masyarakat, menciptakan ruang formal bagi keterlibatan publik dalam proses kebijakan.

Belajar dari Kasus UU Cipta Kerja di Indonesia

Kasus UU Cipta Kerja (Omnibus Law) menyoroti ketegangan antara efisiensi legislatif dan legitimasi demokratis. Proses legislasi yang dipercepat dan minimnya partisipasi publik menghasilkan penolakan massif dan judicial review yang membatalkan beberapa aspek undang-undang. UU Cipta Kerja juga mengungkap kesenjangan kapasitas deliberatif antara kelompok bisnis (yang memiliki sumber daya dan akses lebih besar) dan kelompok pekerja atau komunitas lokal.

Membangun Arsitektur Deliberatif yang Kokoh di Indonesia

Bagaimana memperkuat demokrasi deliberatif di Indonesia?

  1. Reformasi Prosedural: Membuat undang-undang yang menjamin keterlibatan publik yang bermakna melalui konsultasi publik dengan jadwal yang memadai, metode aksesibel, dan mekanisme umpan balik yang transparan. Teknologi digital dapat berperan penting, seperti platform vTaiwan di Taiwan.
  2. Penguatan Kapasitas Masyarakat Sipil: Meningkatkan literasi hukum dan politik, akses informasi, dan kemampuan mengartikulasikan kepentingan secara substantif. Belajar dari program pendidikan kewarganegaraan yang komprehensif dan pendanaan untuk organisasi masyarakat sipil di negara seperti Jerman.
  3. Membangun Institusi Mediasi: Membangun institusi yang menjembatani kesenjangan antara negara dan masyarakat. Penguatan peran institusi seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai kamar deliberasi yang mewakili kepentingan daerah dapat menjadi salah satu langkah konkret.

Peran Media dan Akademisi

Media dan akademisi memiliki peran krusial. Media tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga membingkai diskursus publik. Jurnalisme deliberatif yang mengedepankan diskusi substansial tentang isu-isu kebijakan, bukan sekadar konflik dan sensasi, dapat membantu menciptakan ruang publik yang lebih rasional. Akademisi dapat menyediakan data dan analisis untuk memperkaya deliberasi publik, serta memfasilitasi dialog antara berbagai pemangku kepentingan. Perhatian khusus perlu diberikan pada peran media sosial, termasuk regulasi platform digital dan literasi media.

Protes terhadap UU TNI yang mengatur kehadiran militer di ranah sipil, membawa pesan penting tentang defisit deliberasi dalam praktik demokrasi kita. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa investasi dalam proses deliberatif, meskipun membutuhkan waktu dan sumber daya lebih besar di awal, menghasilkan kebijakan yang lebih solid dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Judicial review dan mekanisme pasca-legislasi lainnya tetap penting sebagai safety net, tetapi tidak menggantikan nilai dari proses pembentukan konsensus melalui deliberasi publik yang inklusif.

Dalam kasus UU terkait militer di ruang sipil, legitimasi tidak hanya ditentukan oleh substansi aturan, tetapi juga proses yang melahirkannya. Ketika warga negara merasa dihargai sebagai partisipan aktif, bukan sekadar objek regulasi, mereka lebih cenderung menerima keputusan kolektif, bahkan ketika keputusan tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan preferensi mereka. Memperkuat demokrasi deliberatif adalah investasi jangka panjang untuk stabilitas politik dan kohesi sosial.