Ramadhan di Negeri Sakura: Kisah Dua Mahasiswa Indonesia Merayakan Puasa di Jepang
Ramadhan di Negeri Sakura: Kisah Dua Mahasiswa Indonesia Merayakan Puasa di Jepang
Menjalani ibadah puasa Ramadhan di negeri asing, khususnya di Jepang yang memiliki budaya dan kultur yang berbeda, merupakan pengalaman unik yang sarat akan cerita. Dua mahasiswa Indonesia, Pradipta Firmananda dan Rama, berbagi pengalaman mereka merayakan Ramadhan di Jepang, mengungkapkan tantangan dan keindahan beribadah di tengah masyarakat yang mayoritas non-Muslim.
Pradipta Firmananda, mahasiswa di Ritsumeikan University, menceritakan pengalaman puasanya yang kedua di Jepang. Berbeda dengan Ramadhan di Indonesia, ia menemukan kekayaan budaya interaksi antar umat beragama selama bulan suci ini. Beribadah di masjid di Osaka, ia menemukan komunitas muslim dari berbagai negara, dengan bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar utama, baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kajian keagamaan. Hal ini menurutnya unik dan memperkaya pengalaman spiritualnya. Lebih lanjut, ia juga menikmati hidangan berbuka puasa yang beragam, merupakan perpaduan cita rasa dari berbagai negara.
Durasi puasa di Jepang, menurut Pradipta, dipengaruhi oleh musim. Pada tahun 2025, Ramadhan jatuh di musim dingin, sehingga durasi puasanya lebih singkat dibandingkan tahun sebelumnya saat Ramadhan berlangsung di musim panas. Perbedaan ini memberikan pengalaman yang berkesan dan memperlihatkan betapa dinamisnya pengalaman berpuasa di negeri empat musim. Waktu salat subuh dan maghrib di Jepang saat ini relatif tidak jauh berbeda dengan Indonesia, sekitar pukul 05.01 dan 17.56 waktu Jepang.
Rama, mahasiswa di Tokyo International University, memiliki pengalaman menjalani Ramadhan di Jepang selama tiga tahun. Ia merasakan perbedaan yang signifikan antara Ramadhan di Indonesia dan Jepang. Di Jepang, Ramadhan terasa lebih personal, memberikan kesempatan untuk introspeksi diri sebagai minoritas di negeri orang. Ia menemukan kemudahan akses terhadap produk halal dan meningkatnya jumlah masjid di Jepang sebagai tanda meningkatnya keragaman dan toleransi beragama di Jepang. Ia lebih sering berbuka puasa bersama teman-teman internasional di kampus.
Sebagai anggota Masjid Indonesia Tokyo (MIT) melalui Keluarga Masyarakat Islam Indonesia (KMII) Jepang, Rama aktif berpartisipasi dalam kegiatan Ramadhan. KMII, yang digerakkan oleh masyarakat Indonesia di Jepang, berfokus pada pengembangan kapasitas umat Muslim Indonesia di Jepang, meliputi kegiatan ibadah, sosial, profesional, dan ekonomi. KMII juga menyelenggarakan acara “Event Ramadhan Iftar” untuk memperkenalkan Ramadhan dan Islam kepada masyarakat Jepang.
KBRI Jepang juga berperan aktif dalam menyemarakkan Ramadhan dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan, seperti ngabuburit dan pesantren kilat yang melibatkan anak-anak hingga remaja. Program pesantren kilat GENQ (Generasi Qurani) bahkan menggunakan tiga bahasa: Bahasa Indonesia, Inggris, dan Jepang. Kegiatan ini diakhiri dengan tablig akbar yang menghadirkan penceramah dari Indonesia. Keterlibatan KBRI menunjukkan kepedulian dan dukungan terhadap diaspora Indonesia yang merayakan Ramadhan di Jepang.
Pengalaman kedua mahasiswa ini mencerminkan keunikan dan keindahan berpuasa di Jepang, menunjukkan adaptasi, toleransi, dan semangat kebersamaan di tengah keberagaman budaya dan agama. Mereka membuktikan bahwa Ramadhan tetap dapat dirayakan dengan khusyuk dan penuh makna, di manapun berada.