Danantara: Ambisi Investasi Raksasa di Tengah Kekhawatiran Demokrasi
Ambisi Investasi Raksasa di Tengah Kekhawatiran Demokrasi
Rabu pagi yang cerah di Istana Negara menjadi panggung peluncuran Danantara, sebuah badan pengelola investasi ambisius yang digadang-gadang sebagai motor penggerak ekonomi Indonesia di masa depan. Presiden Prabowo Subianto, didampingi para petinggi negara, tokoh internasional, dan dua mantan presiden, meresmikan lembaga yang secara resmi bernama Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara ini.
Sorak sorai optimisme menggema, dengan narasi yang berpusat pada kemakmuran dan masa depan cerah. "Daya Anagata," yang berarti energi masa depan Nusantara, diharapkan menjadi kunci untuk membuka potensi ekonomi Indonesia. Namun, di balik kemegahan acara peluncuran dan janji-janji manis, muncul pertanyaan mendasar: Apakah Danantara benar-benar hanya tentang investasi dan kesejahteraan rakyat, ataukah ada agenda tersembunyi yang terbungkus rapi dalam narasi pembangunan nasional?
Ambisius Sejak Lahir
Secara resmi, Danantara diproyeksikan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5 persen menjadi 8 persen. Dengan aset awal yang mencengangkan, lebih dari 900 miliar dolar AS, Danantara langsung menempatkan diri sebagai salah satu sovereign wealth fund (SWF) terbesar di kawasan. Bandingkan dengan Temasek milik Singapura yang dibangun bertahun-tahun, Danantara memulai perjalanannya dengan portofolio aset BUMN strategis yang sangat besar.
Berikut adalah daftar aset yang dikelola oleh Danantara:
- Bank Mandiri
- BRI
- BNI
- Telkom
- PLN
- Pertamina
- MIND ID
Citra yang ingin dibangun adalah efisiensi, transparansi, dan transformasi. Namun, kompleksitas politik seringkali merumitkan idealisme ekonomi. Struktur organisasi Danantara memperlihatkan konsolidasi elit politik dan bisnis yang sangat nyata.
Panggung Kekuasaan
Presiden Prabowo Subianto bertindak sebagai penanggung jawab utama. Menteri BUMN Erick Thohir menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas. Dua mantan presiden, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, duduk bersama dalam Dewan Pengarah. Nama-nama besar dari dunia internasional seperti Ray Dalio, Jeffrey Sachs, dan Thaksin Shinawatra, juga menghiasi Dewan Penasihat.
Jajaran manajemen diisi oleh tokoh-tokoh berpengalaman: Rosan Roeslani sebagai CEO, Dony Oskaria sebagai COO, dan Pandu Patria Sjahrir sebagai CIO. Danantara lebih dari sekadar lembaga investasi; ini adalah arena kekuasaan. Pertanyaan kritis muncul: Apakah konsentrasi kekuasaan sebesar ini sehat bagi demokrasi?
Kekuatan ekonomi selalu beririsan dengan kekuatan politik. Danantara menjadi instrumen baru dalam peta kekuasaan ekonomi-politik pasca-Pemilu 2024. Dengan presiden terpilih yang berhasil menggabungkan kekuatan bisnis, militer, dan jaringan internasional, Danantara hadir sebagai mesin baru untuk akumulasi dan distribusi kekuasaan. Kita menyaksikan evolusi state capitalism yang menyatu dengan oligarchic power sharing.
Kekhawatiran Legitimasi dan Pengawasan
Struktur Danantara menimbulkan kekhawatiran. Lembaga sebesar ini tidak dibentuk melalui undang-undang, perdebatan panjang di DPR, atau mekanisme partisipasi publik. Lahirnya melalui keputusan presiden dan disusun secara teknokratis. Legitimasi politiknya tipis, sementara otoritas ekonominya sangat besar.
Paradoks muncul: Negara ingin membangun lembaga yang efisien, profesional, dan lincah, tetapi mengabaikan prinsip-prinsip check and balances. Fungsi pengawasan didelegasikan kepada sejumlah pejabat tinggi: KPK, BPK, PPATK, Kapolri, Jaksa Agung. Namun, semua ini tetap berada dalam lingkaran kekuasaan eksekutif. Siapa yang akan benar-benar mengawasi para pengawas?
Publik patut curiga terhadap pola konsolidasi semacam ini. Kekuasaan yang terlalu terkonsentrasi tanpa mekanisme kontrol cenderung menciptakan blind spot bagi praktik penyimpangan. Pengalaman Orde Baru dengan konglomerasi BUMN yang hanya memperkaya elit menjadi pelajaran berharga. Kini, skemanya lebih canggih, lebih global, tetapi polanya serupa: akumulasi kekuasaan di tangan segelintir orang.
Danantara mengelola aset publik dalam jumlah raksasa. Seluruh portofolio BUMN strategis dialihkan ke dalam satu entitas. Apakah transfer nilai ini dilakukan secara transparan? Apa dasar hukumnya? Bagaimana akuntabilitasnya kepada rakyat? Masalah semakin rumit ketika kita menelusuri susunan pengurus. Nama-nama yang ada bukan sekadar profesional; mereka adalah bagian dari jejaring kekuasaan politik dan bisnis nasional.
Potensi Konflik Kepentingan dan Arah Investasi
Pandu Patria Sjahrir, misalnya, memiliki hubungan keluarga dengan elit politik tertentu. Rosan Roeslani, mantan Dubes AS dan Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, kini menjabat sebagai CEO. Situasi ini mengaburkan batas antara meritokrasi dan politik balas budi. Tak kalah penting adalah soal arah investasi. Dalam pidato resminya, Presiden Prabowo menyebut sektor-sektor strategis: pengolahan mineral, kecerdasan buatan, energi hijau, pangan. Retoris dan futuristik.
Siapa yang menentukan prioritas ini? Apakah Danantara akan berpihak pada pengusaha kecil dan pembangunan daerah, atau justru memperbesar dominasi korporasi besar? Belajar dari pengalaman SWF di negara lain, risiko selalu ada: investasi serampangan, kerugian besar, hingga korupsi. Skandal 1MDB di Malaysia menjadi pelajaran pahit. Dana abadi yang dimaksudkan untuk kemakmuran rakyat justru menjadi mesin pencucian uang global. Apa jaminan Danantara tidak akan mengalami nasib serupa?
Kelemahan sistemik bukan terletak pada struktur teknis semata, tetapi pada watak politik di baliknya. Jika kekuasaan digunakan tanpa mekanisme akuntabilitas, jika elit tidak merasa perlu menjawab kepada publik, maka sebaik dan secanggih apa pun institusinya, tetap rawan diselewengkan.
Kewaspadaan dan Peran Masyarakat Sipil
Danantara sedang dibangun dengan narasi kebangsaan. Namun, publik jangan sampai terlena. Di balik slogan nasionalisme dan optimisme, ada potensi pelemahan demokrasi. Ketika lembaga negara superkuat ini tak sepenuhnya tunduk pada mekanisme hukum yang deliberatif, maka ancaman terbesar bukan pada kegagalan ekonominya, melainkan pada implikasi politiknya: pergeseran kekuasaan ke tangan oligarki yang dibungkus legitimasi negara.
Dalam situasi seperti ini, media dan masyarakat sipil memegang peran penting. Kita tidak boleh sekadar menjadi penonton. Kita harus mengawal, mengkritik, dan menuntut transparansi. DPR juga tidak bisa diam. Mereka harus menuntut keterlibatan legislatif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut dana publik sebesar ini. Jika tidak, maka parlemen hanya akan menjadi penonton dalam pertunjukan besar pembentukan imperium ekonomi negara.
Kita tidak menolak pembangunan. Kita tidak anti-investasi. Namun, pembangunan yang baik harus berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Dana abadi negara tidak boleh menjadi alat politik, tidak boleh menjadi ruang gelap yang hanya bisa diakses oleh mereka yang punya koneksi ke pusat kuasa.
Kilau Danantara terlalu terang untuk diabaikan. Di balik kilau itu, kita harus jeli melihat bayang-bayang yang tersembunyi. Karena sejarah membuktikan: korupsi terbesar selalu lahir dari kekuasaan yang tak terkontrol.
Danantara mungkin menjanjikan masa depan. Namun, demokrasi adalah jaminan hari ini. Jangan sampai demi membangun hari esok, kita menggadaikan prinsip-prinsip yang menjaga republik tetap waras.