Revisi UU TNI Tuai Kritik: CSIS Soroti Minimnya Transparansi dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan

Revisi UU TNI dalam Sorotan: Kurangnya Transparansi dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan Jadi Sorotan

Centre for Strategic and International Studies (CSIS) baru-baru ini melontarkan kritik tajam terhadap proses revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam sebuah media briefing yang bertajuk 'Catatan Pasca-Pengesahan Revisi UU TNI' yang diselenggarakan pada Senin, 24 Maret 2025, para peneliti CSIS menyampaikan sejumlah poin krusial yang menjadi perhatian utama mereka. Sorotan utama tertuju pada kurangnya transparansi dalam proses pengesahan UU tersebut, minimnya partisipasi publik yang bermakna, serta potensi tumpang tindih kewenangan yang dapat timbul.

Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, menyoroti bahwa revisi UU TNI ini mengandung permasalahan yang signifikan, mulai dari tahapan legislasi hingga pengesahan. Ia menggarisbawahi tiga aspek utama permasalahan tersebut:

  • Kurangnya Transparansi dan Partisipasi Publik: Proses pembahasan dan pengesahan UU dinilai kurang transparan dan tidak melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi dan akuntabilitas dari UU yang dihasilkan.
  • Dominasi Eksekutif dalam Proses Legislasi: Arya Fernandes melihat adanya ketidakseimbangan dalam proses legislasi, di mana peran eksekutif terlampau dominan. Padahal, idealnya, kekuasaan legislasi seharusnya terbagi setara antara eksekutif dan legislatif, masing-masing memegang 50% porsi.
  • Inkonsistensi DPR dalam Melaksanakan Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: DPR dinilai belum sepenuhnya konsisten dalam menjalankan muatan-muatan penting, khususnya dalam prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar.

Nicky Fahrizal, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, bahkan lebih tegas menyatakan bahwa proses revisi UU TNI ini mengarah pada apa yang disebut sebagai 'militerisasi' pemerintahan Indonesia. Ia menjelaskan bahwa militerisasi adalah proses atau tindakan yang memperbesar peran militer, sehingga terjadi peningkatan kendali militer dalam berbagai dimensi area atau institusi sipil tertentu.

Beberapa pasal dalam UU TNI yang direvisi dianggap mengandung unsur militerisasi, antara lain:

  • Pasal 7 tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP): Ketentuan mengenai OMSP dinilai terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan.
  • Pasal 8 yang Memperluas Wilayah Tugas TNI AD: Perluasan wilayah tugas TNI AD dikhawatirkan dapat menimbulkan gesekan dengan institusi sipil lainnya.
  • Pasal 47 yang Menambah Ruang Jabatan Sipil untuk TNI Aktif: Penambahan ruang jabatan sipil untuk TNI aktif dikritik karena dapat mengurangi profesionalisme birokrasi.
  • Pasal 53 yang Memperpanjang Masa Kerja TNI: Perpanjangan masa kerja TNI dinilai dapat menghambat regenerasi di tubuh TNI.

Pieter Pandie, Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS, menambahkan bahwa militerisasi ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan dan tumpang tindih kewenangan antarlembaga. Ia menyoroti penambahan peran baru bagi TNI, seperti di bidang siber dan perlindungan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri. Menurutnya, jika tidak diperjelas, penambahan peran ini justru dapat membuka ruang kebingungan dan konflik antarlembaga. Keterlibatan TNI dalam isu siber juga dinilai berisiko membuat penanganan isu ini menjadi top-down dan lebih securitize.

Secara keseluruhan, CSIS memberikan catatan kritis terhadap revisi UU TNI, menekankan perlunya transparansi, partisipasi publik yang bermakna, serta kejelasan dalam pembagian kewenangan untuk menghindari potensi tumpang tindih dan menjaga profesionalisme TNI.