Adik Hendry Lie Terancam Hukuman Berat dalam Skandal Korupsi Timah Raksasa: Kerugian Negara Mencapai Rp 300 Triliun
Skandal Korupsi Timah: Fandy Lingga Didakwa Rugikan Negara Rp 300 Triliun
Jakarta - Fandy Lingga, mantan marketing PT Tinindo Internusa dan adik dari eks Komisaris Sriwijaya Air, Hendry Lie, menghadapi dakwaan serius terkait kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mendakwa Fandy Lingga telah merugikan keuangan negara hingga mencapai angka fantastis, yakni Rp 300 triliun.
Sidang perdana kasus ini digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (25/3/2025). Dalam surat dakwaannya, JPU mengungkapkan bahwa Fandy Lingga diduga melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan sejumlah pemilik smelter swasta yang menjalin kerja sama dengan PT Timah. Selain Fandy Lingga, nama-nama seperti pengusaha Harvey Moeis (mewakili PT Refined Bangka Tin/RBT) dan Helena Lim (beneficial owner money changer PT Quantum Skyline Exchange/QSE) juga terseret dalam pusaran kasus ini.
"Telah merugikan Keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14," tegas jaksa dalam persidangan.
Peran Fandy Lingga dalam Pusaran Korupsi
Menurut uraian dakwaan, Fandy Lingga, sebagai perwakilan PT Tinindo Internusa, aktif melakukan pertemuan dengan para petinggi PT Timah, termasuk Direktur Utama Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Operasi Alwin Albar. Pertemuan-pertemuan ini diduga menjadi awal mula praktik korupsi, di mana Mochtar dan Alwin disebut meminta jatah penambangan bijih timah sebesar 5 persen.
Selanjutnya, Fandy Lingga bersama dengan sejumlah pemilik smelter swasta membahas pelaksanaan perjanjian kerja sama sewa peralatan processing pengolahan. Ironisnya, jaksa mengungkapkan bahwa smelter-smelter swasta yang terlibat dalam kerja sama tersebut tidak memiliki competent person (CP), yang seharusnya menjadi syarat mutlak dalam kegiatan pertambangan.
Tak berhenti di situ, Fandy Lingga juga diduga menyetujui pembentukan perusahaan cangkang atau boneka. Perusahaan-perusahaan ini kemudian mendapatkan Surat Perintah Kerja (SPK) dari PT Timah dan difungsikan sebagai wadah pembayaran bijih timah yang berasal dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.
"Terdakwa Fandy Lingga dan Rosalina mengetahui dan menyetujui pembentukan perusahaan boneka atau cangkang yaitu CV Bukit Persada Raya dan CV Sekawan Makmur Sejati sebagai mitra jasa borongan yang akan diberikan SPK pengangkutan oleh PT Timah," ungkap jaksa.
"Untuk membeli dan/atau mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal dari wilayah IUP PT Timah, Tbk yang selanjutnya dijual kepada PT Timah Tbk sebagai tindak lanjut pelaksanaan kerja sama sewa peralatan processing pengolahan antara PT Timah, Tbk dengan PT Tinindo Internusa," lanjutnya.
Jaksa juga mengungkapkan bahwa Fandy Lingga menerima pembayaran dari PT Timah atas pengumpulan bijih timah dari penambang ilegal dan juga menerima pembayaran kerja sama sewa pengolahan yang diduga terjadi mark-up harga.
Manipulasi CSR dan Biaya Pengamanan
Lebih lanjut, Fandy Lingga dituduh menyetujui tindakan Harvey Moeis bersama smelter swasta lainnya untuk melakukan negosiasi dengan PT Timah terkait sewa menyewa smelter swasta. Kesepakatan harga sewa smelter diduga dilakukan tanpa melalui studi kelayakan yang memadai.
"Terdakwa Fandy Lingga dan Rosalina mewakili PT Tinindo Internusa menyetujui permintaan Harvey Moeis untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada Harvey Moeis sebesar 500 sampai dengan 750 dollar AS per ton yang seolah-olah dicatat sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) dari smelter swasta yaitu CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa," papar jaksa.
Dana CSR tersebut, menurut jaksa, digunakan untuk melegalkan pembelian bijih timah oleh pihak smelter swasta yang berasal dari penambangan ilegal di IUP PT Timah.
Jaksa juga menyebutkan bahwa Fandy Lingga menyetujui pembayaran 'biaya pengamanan' yang seolah-olah merupakan CSR ke PT QSE. Fandy, mewakili PT Tinindo, menyerahkan 25.000 dollar AS per bulan sejak pelaksanaan kerja sama sewa pengolahan. Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Harvey Moeis melalui Helena Lim.
Dakwaan dan Ancaman Hukuman
Atas perbuatan-perbuatannya tersebut, Fandy Lingga didakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal-pasal ini mengatur tentang tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman yang sangat berat.
Kasus korupsi timah ini menjadi sorotan publik karena melibatkan sejumlah nama besar dan nilai kerugian negara yang fantastis. Persidangan Fandy Lingga diharapkan dapat mengungkap lebih jauh jaringan korupsi yang melibatkan PT Timah dan para pengusaha smelter swasta, serta memberikan keadilan bagi negara dan masyarakat.