Vonis Kasus Penembakan Bos Rental: Pengadilan Militer Bebaskan Oknum TNI AL dari Restitusi, Ini Alasannya

Pengadilan Militer Jakarta: Tiga Oknum TNI AL Bebas Tanggung Jawab Restitusi dalam Kasus Penembakan Bos Rental

Pengadilan Militer Jakarta memutuskan untuk tidak membebankan ganti rugi atau restitusi kepada tiga anggota TNI AL yang terlibat dalam penembakan Ilyas Abdurrahman, seorang pengusaha rental mobil. Putusan ini diumumkan dalam sidang vonis yang digelar pada Selasa, 25 Maret 2025, dan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai keadilan bagi keluarga korban.

Majelis hakim berpendapat bahwa tuntutan restitusi yang diajukan oleh auditor militer tidak dapat dikabulkan. Pertimbangan utama didasarkan pada fakta bahwa ada terdakwa lain dalam kasus ini yang diadili di peradilan umum, yaitu Isra, Iin Hilmi, Ajat, dan Rohman. Hakim berpendapat, restitusi seharusnya dibebankan secara tanggung renteng kepada semua terdakwa, baik yang diadili di peradilan militer maupun peradilan umum.

"Majelis hakim berpendapat adalah adil terhadap restitusi atas korban Saudara Ramli sama-sama dibebankan secara tanggung renteng sebagaimana terhadap korban meninggal dunia atas nama almarhum Saudara Ilyas Abdurrahman dengan pertimbangan kedua korban, yaitu Saudara Ilyas Abdurrahman dan Saudara Ramli, adalah sama-sama korban dari terjadinya tindak pidana pembunuhan dan penadahan yang dilakukan para terdakwa dengan terdakwa sipil lain," ujar hakim.

Alasan Pembebasan Restitusi:

Beberapa poin penting yang menjadi dasar pertimbangan hakim adalah:

  • Tanggung Renteng Restitusi: Hakim berpendapat bahwa restitusi seharusnya tidak hanya dibebankan kepada tiga terdakwa yang diadili di pengadilan militer, tetapi juga kepada terdakwa lain yang diadili di peradilan umum. Beban restitusi harus dibagi secara adil di antara semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana.
  • Komponen Restitusi Tidak Tepat: Majelis hakim menemukan adanya komponen yang tidak seharusnya termasuk dalam perhitungan restitusi, seperti pembayaran seluruh angsuran bulanan mobil rental. Hakim berpendapat, restitusi seharusnya hanya mencakup kerugian yang secara langsung berkaitan dengan tindak pidana, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022.
  • Bukan Tindak Pidana Terorisme: Hakim menolak dasar perhitungan restitusi yang diajukan, yang didasarkan pada kompensasi atau santunan korban tindak pidana terorisme. Hakim menegaskan bahwa kasus ini bukanlah tindak pidana terorisme, sehingga perhitungan restitusi harus didasarkan pada aturan yang berbeda.
  • Ketidakmampuan Finansial Terdakwa: Hakim menyatakan bahwa ketiga terdakwa telah dijatuhi hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Dengan demikian, mereka dianggap tidak memiliki kemampuan finansial untuk membayar restitusi kepada korban.
  • Santunan dari Satuan TNI AL: Satuan tempat para terdakwa bertugas telah memberikan santunan kepada keluarga korban, yaitu Rp 100 juta untuk keluarga Ilyas Abdurrahman dan Rp 35 juta untuk Ramli. Hakim menilai satuan tersebut dapat dianggap sebagai pihak ketiga yang dapat memberikan restitusi.

Hukuman dan Peluang Gugatan Perdata:

Dalam kasus ini, Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo dan Sertu Akbar Adli divonis penjara seumur hidup, sementara Sertu Rafsin Hermawan dihukum 4 tahun penjara. Ketiganya juga dipecat dari TNI.

Majelis hakim tidak menutup kemungkinan bagi keluarga korban untuk mengajukan gugatan perdata di kemudian hari. Jika para terdakwa atau pihak ketiga tidak mampu membayar restitusi, keluarga korban tetap memiliki hak untuk menuntut ganti rugi melalui jalur hukum perdata.

Sebelumnya, auditor militer menuntut agar Bambang Apriatmodjo membayar restitusi sebesar Rp 299.633.500 kepada keluarga Ilyas Abdurrahman dan Rp 146.354.200 kepada Ramli. Sementara itu, Akbar Adli dan Rafsin Hermawan masing-masing dituntut membayar Rp 147.133.500 kepada keluarga Ilyas Abdurrahman dan Rp 73.177.100 kepada Ramli.

Keputusan pengadilan militer ini membuka ruang diskusi lebih lanjut mengenai mekanisme restitusi dalam kasus pidana, khususnya yang melibatkan anggota militer. Keadilan bagi korban dan keluarga korban tetap menjadi prioritas utama, dan diharapkan ada solusi yang adil dan proporsional bagi semua pihak yang terlibat.