Polemik 'THR' Ojol Rp50 Ribu: Kemnaker Janji Panggil Aplikator, Serikat Pekerja Geram

Kontroversi 'THR' Ojol Rp50 Ribu Memicu Reaksi Keras Serikat Pekerja dan Respons Kemnaker

Gelombang protes dari kalangan pengemudi ojek online (ojol) terkait besaran 'Bonus Hari Raya' (BHR) yang dinilai tidak manusiawi, yakni hanya Rp50 ribu, telah sampai ke telinga Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Reaksi keras ini muncul setelah Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mengungkapkan kekecewaannya atas implementasi BHR yang dianggap tidak sesuai dengan harapan dan ketentuan yang berlaku.

Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyatakan bahwa pihaknya akan segera memanggil pihak aplikator untuk meminta klarifikasi terkait persoalan ini. Kemnaker juga membuka diri terhadap laporan dari pengemudi dan kurir online melalui Satuan Tugas (Satgas) yang telah dibentuk. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk memahami secara komprehensif permasalahan yang ada dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak.

"Kami akan panggil dan coba gali implementasinya seperti apa. Dalam dua hari ini akan kami lakukan pemanggilan," ujar Yassierli, menegaskan keseriusan Kemnaker dalam menanggapi keluhan para pekerja.

Sementara itu, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, menekankan pentingnya niat baik dari platform digital untuk memberikan bantuan kepada para mitra ojol, terlepas dari nominal yang diberikan. Menurutnya, adanya kemauan untuk berbagi merupakan poin utama yang perlu diapresiasi.

"Yang paling penting itu ada keinginan dan kemauan platform digital ini memberikan Bantuan. Berapapun jumlahnya," kata Immanuel.

SPAI Desak Kemnaker Bertindak Tegas

SPAI, sebagai wadah aspirasi para pekerja transportasi, berencana mengadukan masalah BHR ini secara resmi ke Kemnaker. Ketua Umum SPAI, Lily Pujiati, mengungkapkan bahwa bonus yang diterima oleh pengemudi ojol jauh dari harapan dan tidak sesuai dengan Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04.00/III/2025.

Merujuk pada Surat Edaran tersebut, BHR ojol seharusnya sebesar 20% dari total penghasilan bulanan selama setahun terakhir. Namun, kenyataannya, banyak pengemudi yang hanya menerima bonus sebesar Rp50 ribu, padahal pendapatan mereka selama 12 bulan bisa mencapai puluhan juta rupiah.

"Dari pengaduan yang kami terima, seorang pengemudi ojol hanya mendapat bonus hari raya sebesar Rp 50 ribu dari pendapatannya selama 12 bulan sebesar Rp 33 juta," ungkap Lily, menggambarkan kesenjangan yang sangat signifikan antara harapan dan realitas.

Menakar Keadilan di Era Ekonomi Digital

Persoalan 'THR' ojol ini menjadi sorotan penting dalam konteks keadilan dan kesejahteraan pekerja di era ekonomi digital. Model kemitraan antara aplikator dan pengemudi seringkali menimbulkan ketidakjelasan terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan terhadap hak-hak pekerja, termasuk hak untuk mendapatkan penghasilan yang layak dan bonus yang adil, menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan ekosistem ekonomi digital.

Kemnaker diharapkan dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk menjembatani kesenjangan yang ada dan memastikan bahwa para pekerja ojol mendapatkan hak-haknya secara proporsional. Dialog yang konstruktif antara aplikator, serikat pekerja, dan pemerintah menjadi kunci untuk menemukan solusi yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Berikut adalah poin-poin penting dari permasalahan 'THR' ojol:

  • Besaran BHR Tidak Manusiawi: Bonus yang diterima ojol dinilai terlalu kecil dan tidak sepadan dengan kontribusi mereka.
  • Ketidaksesuaian dengan SE Kemnaker: Implementasi BHR tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan.
  • Tuntutan Serikat Pekerja: SPAI mendesak Kemnaker untuk bertindak tegas dan memastikan hak-hak pekerja ojol terpenuhi.
  • Peran Aplikator: Aplikator diharapkan dapat memberikan BHR yang lebih layak dan proporsional kepada para mitra ojol.
  • Urgensi Perlindungan Pekerja Digital: Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan hak-hak pekerja di era ekonomi digital.

Kasus ini menjadi ujian bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh pekerja Indonesia, termasuk mereka yang bekerja di sektor transportasi online.