Antisipasi Perang Siber: TNI Perkuat Pertahanan Digital Nasional di Tengah Konflik Global

TNI Tingkatkan Kapasitas Pertahanan Siber Nasional

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menekankan pentingnya peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks. Penegasan ini muncul di tengah diskusi hangat mengenai revisi Undang-Undang (UU) TNI, khususnya terkait definisi dan cakupan ancaman siber yang menjadi perhatian publik.

Dalam diskusi daring yang digelar pada Selasa, 25 Maret 2025, Brigjen Kristomei menjelaskan bahwa keterlibatan TNI dalam ranah siber difokuskan pada dua aspek utama: cyber warfare (peperangan siber) dan cyber defense (pertahanan siber). Hal ini krusial mengingat lanskap peperangan modern telah bergeser, tidak lagi terbatas pada konfrontasi fisik, tetapi juga merambah ke dunia maya dengan konsekuensi yang sama seriusnya.

"Perang di era modern tidak hanya melibatkan serangan fisik, tetapi juga serangan siber yang dapat mengganggu stabilitas suatu negara," tegas Kristomei. Ia mencontohkan konflik yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina, di mana perang siber menjadi bagian integral dari strategi militer kedua negara. Keterlibatan TNI, menurutnya, adalah untuk memastikan Indonesia tidak menjadi korban dalam eskalasi konflik siber global.

Kristomei menambahkan bahwa revisi UU TNI sangat relevan dengan perkembangan ancaman di masa depan. Peran militer dalam menjaga keamanan digital negara menjadi semakin penting seiring dengan meningkatnya serangan siber terhadap infrastruktur vital. Ia menggarisbawahi bahwa TNI memiliki peran penting dalam memperkuat pertahanan digital Indonesia, terutama dalam melindungi aset-aset strategis dari serangan yang dapat melumpuhkan negara.

Definisi Ancaman Siber dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan

Meski demikian, revisi UU TNI terkait ancaman siber ini menuai berbagai tanggapan. Beberapa pihak, termasuk peneliti Hubungan Internasional dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Pieter Pandie, menyoroti perlunya definisi yang lebih jelas dan spesifik mengenai peran TNI dalam penanganan ancaman siber. Pandie mengingatkan bahwa tanpa kejelasan, berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain yang sudah memiliki mandat di bidang siber, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

"Kalau tidak diperjelas (bentuk konkret peran TNI), justru membuka ruang kebingungan dan konflik antar lembaga," ujar Pieter Pandie dalam diskusi di kantor CSIS, Jakarta, Senin (24/3/2025).

Kekhawatiran ini muncul karena definisi ancaman siber dalam RUU TNI dinilai masih terlalu luas dan berpotensi menimbulkan multitafsir. Pieter Pandie menekankan perlunya kejelasan mengenai batasan-batasan kewenangan TNI agar tidak terjadi konflik kepentingan atau duplikasi tugas dengan lembaga lain. Dengan demikian, sinergi antarlembaga dapat terjalin secara optimal dalam menjaga keamanan siber nasional.

Langkah Strategis untuk Pertahanan Nasional

Terlepas dari kekhawatiran tersebut, Kristomei menegaskan bahwa keterlibatan TNI dalam pertahanan siber adalah langkah strategis untuk melindungi kepentingan nasional. Ia meyakinkan publik bahwa TNI akan bekerja sama dengan lembaga terkait lainnya untuk memastikan keamanan siber Indonesia terjaga dengan baik. Revisi UU TNI, menurutnya, adalah upaya untuk memperkuat fondasi pertahanan negara di era digital yang penuh dengan tantangan.

Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan terkait peran TNI dalam menghadapi ancaman siber:

  • Fokus pada cyber warfare dan cyber defense.
  • Memperkuat pertahanan digital infrastruktur strategis.
  • Menghindari tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain.
  • Menjamin keamanan siber nasional.
  • Adaptasi terhadap lanskap peperangan modern.

Dengan pemahaman yang jelas dan koordinasi yang baik antarlembaga, Indonesia dapat membangun sistem pertahanan siber yang kuat dan efektif untuk menghadapi berbagai ancaman di dunia maya.