MAKI Tegaskan KPK Punya Otonomi Penyadapan, RUU KUHAP Tak Relevan

MAKI Tegaskan KPK Punya Otonomi Penyadapan, RUU KUHAP Tak Relevan

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) berpendapat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu terikat dengan aturan penyadapan yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Penegasan ini didasarkan pada prinsip lex specialis derogat legi generali, yang berarti hukum khusus mengesampingkan hukum umum. Dengan kata lain, Undang-Undang KPK sebagai aturan khusus, memberikan kewenangan yang berbeda dibandingkan KUHAP yang bersifat umum.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyampaikan bahwa selama ini KPK tidak memerlukan izin dari ketua pengadilan negeri untuk melakukan penyitaan, penggeledahan, maupun penyadapan. Prosedur yang berlaku di KPK saat ini adalah perizinan internal dari pimpinan KPK.

"Betul, KPK ketika akan menyita dan menggeledah, termasuk menyadap, kan tidak perlu izin ketua pengadilan negeri. Jadi praktiknya sudah ada selama ini," ujar Boyamin kepada wartawan, Selasa (25/3/2025).

Boyamin menambahkan, RUU KUHAP mengatur penyadapan secara umum untuk penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan. Pengaturan ini diperlukan untuk mencegah penyadapan yang tidak terkontrol. Namun, mengingat KPK memiliki UU sendiri, maka ketentuan dalam RUU KUHAP tidak berlaku bagi lembaga antirasuah tersebut.

"KUHAP itu kan mengatur sifatnya umum, ya untuk jaksa, untuk polisi, untuk KPK beberapa, kalau sudah diatur khusus UU KPK maka tidak perlu tunduk kepada KUHAP," sebutnya.

Aturan Penyadapan dalam RUU KUHAP

Dalam draf RUU KUHAP, aturan mengenai penyadapan diatur dalam Pasal 124 hingga 128. Pasal 124 secara eksplisit menyatakan bahwa penyadapan harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri. Namun, terdapat pengecualian dalam kondisi mendesak.

Berikut kutipan pasal terkait penyadapan dalam RUU KUHAP:

(1) Penyidik, PPNS, dan/atau Penyidik Tertentu dapat melakukan Penyadapan untuk kepentingan Penyidikan

(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin ketua pengadilan negeri

(3) Dalam keadaan mendesak, Penyadapan dapat dilaksanakan tanpa izin ketua pengadilan negeri

Kondisi mendesak yang dimaksud pada ayat (3) meliputi:

  • Potensi bahaya maut atau ancaman luka berat
  • Terjadi permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara
  • Terjadi permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi

(5) Pelaksanaan Penyadapan yang dilakukan dalam keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib segera dimohonkan persetujuan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1 (satu) Hari terhitung sejak Penyadapan tanpa izin dilaksanakan.

(6) Dalam hal ketua pengadilan negeri menolak untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Penyadapan yang sedang dilakukan wajib dihentikan serta hasil Penyadapan tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti dan dimusnahkan.

MAKI berpandangan bahwa aturan yang ketat dalam RUU KUHAP, termasuk keharusan izin ketua pengadilan negeri, memang diperlukan untuk mengawasi penyadapan oleh aparat penegak hukum secara umum. Akan tetapi, KPK sebagai lembaga yang memiliki mandat khusus dalam pemberantasan korupsi, memerlukan fleksibilitas yang diatur dalam UU KPK agar dapat bekerja secara efektif. Kewenangan khusus ini, termasuk dalam hal penyadapan, memungkinkan KPK untuk bertindak cepat dan efisien dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang kompleks.

Dengan demikian, MAKI berpendapat bahwa RUU KUHAP tidak seharusnya mengekang kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK berdasarkan UU KPK. Penerapan prinsip lex specialis menjadi kunci untuk menjaga efektivitas KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.