Bantuan Hari Raya untuk Ojol Purwokerto: Antara Syukur dan Keadilan yang Dipertanyakan

Bantuan Hari Raya untuk Ojol Purwokerto: Antara Syukur dan Keadilan yang Dipertanyakan

Pencairan Bantuan Hari Raya (BHR) bagi pengemudi ojek online (ojol) di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, memunculkan berbagai tanggapan. Meskipun banyak yang bersyukur atas bantuan tersebut, sebagian mitra pengemudi juga mempertanyakan keadilan dalam sistem klasifikasi dan besaran BHR yang diterima.

Lisdwianto (39), seorang pengemudi Gojek, mengungkapkan rasa syukurnya atas BHR yang diterimanya. "Saya dapat Rp 50.000, alhamdulillah dikasih, daripada tidak ada yang memberi sama sekali," ujarnya kepada wartawan, Selasa (25/3/2025). Ia menambahkan bahwa dirinya tidak terlalu mempermasalahkan nominal BHR yang diberikan.

Namun, di balik rasa syukur tersebut, Lisdwianto juga mengkritisi sistem klasifikasi penerima BHR yang diterapkan oleh pihak aplikator. Ia menyoroti adanya ketidaksesuaian antara kategori yang seharusnya ia terima dengan besaran BHR yang didapat.

"Saya masuk kategori Ksatria, tapi dapatnya sama dengan Pejuang, seharusnya dibedakan," tegasnya. Menurutnya, perbedaan signifikan dalam jumlah orderan antara kategori Pejuang (150 orderan) dan Ksatria (minimal 250 orderan) seharusnya tercermin dalam besaran BHR yang diterima.

Sistem Klasifikasi BHR yang Kontroversial

Perlu diketahui, salah satu aplikator ojol, menerapkan sistem klasifikasi penerima BHR berdasarkan kinerja mitra pengemudi, yang meliputi:

  • Anggota: Rp 50.000
  • Pejuang: Rp 100.000
  • Ksatria: Rp 100.000
  • Jawara: Rp 255.000 - Rp 850.000

Sistem ini, meski bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada pengemudi dengan kinerja terbaik, justru menuai kritik karena dianggap kurang adil dan tidak transparan. Ketidaksinkronan antara kategori dan besaran BHR yang diterima oleh Lisdwianto menjadi salah satu contohnya.

Harapan akan Sistem yang Lebih Adil

Lisdwianto berharap agar ke depannya, pemberian BHR dapat dilakukan secara lebih merata dan adil, dengan mempertimbangkan kinerja masing-masing mitra pengemudi secara proporsional. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan kesejahteraan para pengemudi ojol, yang telah berkontribusi besar dalam memberikan layanan transportasi bagi masyarakat.

Kasus BHR di Purwokerto ini menjadi cermin bagi penyelenggara aplikator ojol untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem pemberian bonus dan insentif kepada mitra pengemudi. Transparansi, keadilan, dan proporsionalitas menjadi kunci utama dalam menciptakan hubungan yang harmonis antara aplikator dan mitra pengemudi, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi semua pihak.