Deflasi dan Ancaman Precautionary Saving: Analisis Mendalam terhadap Daya Beli Masyarakat Indonesia
Deflasi dan Ancaman Precautionary Saving: Analisis Mendalam terhadap Daya Beli Masyarakat Indonesia
Kondisi ekonomi Indonesia di awal tahun 2025 menunjukkan fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan: deflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi selama dua bulan berturut-turut, dengan angka -0,48% pada bulan berjalan dan -0,09% secara tahunan. Deflasi ini, yang pertama kali terjadi dalam 25 tahun terakhir, memicu kekhawatiran tentang melemahnya daya beli masyarakat.
Deflasi di Tengah Ramadan: Pertanda Melemahnya Konsumsi?
Menurut Fatkur Huda, seorang pakar ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), deflasi ini mengindikasikan penurunan signifikan dalam konsumsi masyarakat. Padahal, bulan Ramadan biasanya menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Penurunan harga pada komoditas seperti tarif listrik, beras, daging ayam, bawang merah, tomat, dan cabai merah menjadi penyumbang utama deflasi.
Precautionary Saving: Ketika Masyarakat Lebih Memilih Menabung
Fatkur menduga bahwa fenomena precautionary saving menjadi penyebab utama penurunan daya beli ini. Precautionary saving adalah perilaku masyarakat yang lebih memilih untuk menabung sebagai bentuk antisipasi terhadap ketidakpastian ekonomi di masa depan. Hal ini tercermin dalam data Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan penurunan belanja pada sektor non-esensial seperti hiburan, olahraga, dan rekreasi. Sebaliknya, belanja di supermarket meningkat, menandakan fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar.
PHK Massal Memicu Kecemasan
Salah satu faktor yang mendorong precautionary saving adalah tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, hampir 78 ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan. Gelombang PHK terus berlanjut di awal tahun 2025, termasuk PHK massal di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang berdampak pada lebih dari 10 ribu karyawan.
Kondisi ini meningkatkan angka pengangguran dan memicu kecemasan di kalangan masyarakat. Akibatnya, masyarakat cenderung mengurangi konsumsi barang-barang tersier dan lebih fokus pada kebutuhan pokok.
Dampak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Penurunan konsumsi rumah tangga dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Konsumsi rumah tangga merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Jika konsumsi melemah, maka permintaan agregat akan menurun dan berpotensi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Peran Pemerintah Sangat Krusial
Menyadari dampak serius dari precautionary saving dan deflasi, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mendorong daya beli masyarakat. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
- Insentif fiskal untuk dunia usaha: Tujuannya adalah untuk mencegah PHK lebih lanjut dan menjaga stabilitas lapangan kerja.
- Bantuan sosial: Pemerintah perlu memberikan bantuan sosial kepada kelompok ekonomi rentan untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan dasar.
- Kebijakan yang mendukung sektor ritel dan UMKM: Sektor ritel dan UMKM memiliki peran penting dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Tanpa intervensi yang tepat, risiko stagnasi ekonomi akan semakin besar dan dapat memperburuk kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Pemerintah harus bertindak cepat dan efektif untuk mengatasi tantangan ini dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.