Polemik Restitusi Keluarga Korban Penembakan Tol Tangerang-Merak: LPSK Soroti Putusan Pengadilan Militer

Restitusi Ditolak, LPSK Pertanyakan Pertimbangan Hakim dalam Kasus Penembakan di Tol Tangerang-Merak

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan rasa hormatnya terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Militer Jakarta II-08 yang menolak permohonan restitusi yang diajukan oleh keluarga Ilyas Abdurrahman, korban penembakan di Rest Area Km 45 Tol Tangerang-Merak. Namun, LPSK menyoroti pertimbangan hakim yang mendasarkan penolakan pada fakta bahwa keluarga korban telah menerima santunan dari kesatuan para terdakwa.

Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menyampaikan kekhawatiran bahwa putusan ini dapat merugikan hak-hak korban tindak pidana. Menurutnya, restitusi dan santunan memiliki tujuan yang berbeda dan seharusnya tidak saling menggantikan. Restitusi adalah hak korban untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian materiel dan immateriel yang diderita akibat tindak pidana. Sementara itu, santunan merupakan bentuk belasungkawa dan bantuan meringankan beban keluarga yang berduka.

"Pertimbangan hakim yang mendasarkan penolakan restitusi pada santunan yang telah diterima keluarga korban menurut kami kurang tepat," ujar Sri Nurherwati di Pengadilan Militer, Jakarta, Selasa (25/3/2025). "Restitusi adalah hak korban yang dijamin oleh undang-undang, dan seharusnya tidak gugur hanya karena korban telah menerima santunan."

LPSK menekankan bahwa restitusi merupakan mekanisme penting untuk memulihkan kerugian korban tindak pidana. Kerugian ini tidak hanya bersifat materiil, seperti biaya pengobatan dan kehilangan pendapatan, tetapi juga immateriil, seperti trauma psikologis dan kehilangan rasa aman. Restitusi bertujuan untuk mengembalikan korban ke kondisi semula sebelum terjadinya tindak pidana, atau setidaknya memberikan kompensasi atas kerugian yang diderita.

Restitusi vs Santunan: Dua Entitas yang Berbeda

Sri Nurherwati menjelaskan lebih lanjut perbedaan mendasar antara restitusi dan santunan. Restitusi, kata dia, merupakan hak korban atas penderitaan yang dialaminya akibat tindak pidana. Penderitaan ini bisa berupa kerugian materiil, luka fisik, trauma psikologis, dan lain sebagainya. Sementara itu, santunan lebih berkaitan dengan ungkapan dukacita dan upaya meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.

"Kami berharap restitusi dan santunan dapat dipisahkan dan dibedakan," tegas Sri. "Keduanya memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda. Santunan tidak bisa menggantikan hak korban atas restitusi."

LPSK juga menyoroti vonis maksimal yang dijatuhkan kepada para terdakwa, yaitu hukuman seumur hidup dan pemecatan dari dinas militer. Meskipun demikian, LPSK berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak serta merta menghapuskan kewajiban para terdakwa untuk memberikan restitusi kepada korban.

"Kami memahami bahwa kondisi keuangan para terdakwa mungkin terbatas setelah dijatuhi hukuman dan dipecat," kata Sri. "Namun, hal ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk menolak permohonan restitusi. Negara dapat hadir untuk membantu korban mendapatkan haknya, misalnya melalui mekanisme dana kompensasi korban atau program restitusi yang dikelola oleh pemerintah."

Pertimbangan Finansial Terdakwa dalam Putusan Restitusi

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Militer Jakarta II-08 menolak permohonan restitusi yang diajukan oleh keluarga Ilyas Abdurrahman. Ketua Majelis Hakim, Letnan Kolonel (Chk) Arif Rachman, menjelaskan bahwa majelis hakim mempertimbangkan kondisi keuangan para terdakwa yang dinilai tidak mampu membayar ganti rugi yang diajukan oleh keluarga korban, yang mencapai ratusan juta rupiah.

"Majelis hakim berpendapat tidak dapat mengabulkan permohonan restitusi yang dibebankan kepada para terdakwa sebagaimana dalam tuntutan oditur militer," kata Arif Rachman.

Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan fakta bahwa TNI AL telah memberikan santunan kepada keluarga korban, yaitu Rp 100 juta untuk keluarga Ilyas Abdurrahman dan Rp 35 juta untuk Ramli Abu Bakar, korban luka dalam kasus tersebut.

"Maka, majelis hakim menilai satuan para terdakwa dapat dikatakan sebagai pihak ketiga," tutup Arif. Pertimbangan ini mengindikasikan bahwa majelis hakim menganggap santunan yang diberikan oleh TNI AL sebagai pengganti restitusi yang seharusnya dibayarkan oleh para terdakwa.

Harapan LPSK untuk Perlindungan Hak Korban

Putusan Pengadilan Militer Jakarta II-08 ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana perlindungan hak-hak korban tindak pidana, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum. LPSK berharap agar putusan ini dapat menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil, untuk bersama-sama mencari solusi agar korban tindak pidana dapat memperoleh keadilan dan pemulihan yang seutuhnya.

LPSK akan terus berupaya untuk memperjuangkan hak-hak korban tindak pidana, termasuk hak atas restitusi. LPSK juga akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya restitusi bagi korban tindak pidana.