Konversi Sawah Jadi Perumahan di Bekasi: Ancaman Banjir yang Tak Kunjung Usai
Konversi Sawah Jadi Perumahan di Bekasi: Ancaman Banjir yang Tak Kunjung Usai
Kota Bekasi, Jawa Barat, kembali bergulat dengan permasalahan banjir yang seolah tak pernah berakhir. Ancaman bencana hidrometeorologi ini, menurut pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, berakar pada perubahan drastis tata ruang kota yang mengubah hamparan sawah subur menjadi kawasan perumahan padat. Perubahan ini, yang dimulai sejak era 1970-an dengan proyek pembangunan perumahan massal, telah mengganggu keseimbangan sistem irigasi dan drainase yang sebelumnya telah terintegrasi dengan baik untuk mendukung pertanian padi di daerah tersebut.
Yayat memaparkan, Bekasi dulunya merupakan lumbung padi dengan sistem irigasi yang ideal untuk areal persawahan. Namun, pesatnya urbanisasi dan pembangunan properti, terutama di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Cileungsi dan Cikeas yang bermuara di Kali Bekasi, telah mengakibatkan kapasitas sungai tak mampu lagi menampung debit air saat hujan deras. Perumahan-perumahan yang dibangun di dekat DAS tersebut menjadi penghambat aliran air, meningkatkan risiko banjir dan mengancam kehidupan masyarakat. Akibatnya, ancaman banjir akan terus mengintai Kota Bekasi jika tidak ada upaya serius untuk menata kembali sistem drainase dan sungai di wilayah tersebut. "Ibaratnya, jika Sungai Cikeas dan Cileungsi tidak diperbaiki dan dinormalisasi, Bekasi akan terus terancam banjir," tegas Yayat.
Dampak Banjir dan Upaya Mitigasi
Banjir awal Maret 2025 lalu, yang merendam tujuh dari dua belas kecamatan di Kota Bekasi, menjadi bukti nyata dampak buruk konversi lahan tersebut. Kecamatan Jatiasih, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bantar Gebang, Pondok Gede, dan Rawa Lumbu terdampak signifikan, sementara lima kecamatan lainnya relatif aman. Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, mengakui bahwa banjir tersebut melumpuhkan aktivitas perkantoran dan masyarakat Kota Bekasi.
Peristiwa ini menegaskan urgensi penataan tata ruang dan mitigasi bencana di Jabodetabek secara terintegrasi. Yayat menekankan pentingnya masterplan pengendalian banjir bukan hanya untuk Jakarta, tetapi juga untuk setiap kota di Jabodetabek, termasuk Bekasi. Pembangunan besar-besaran ke depan harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan penataan sungai yang baik, agar bencana banjir dapat diminimalisir. Jika tidak, kata Yayat, bukan tidak mungkin daerah-daerah di Jabodetabek akan terendam ketika hujan deras melanda.
Kesimpulan
Permasalahan banjir di Bekasi merupakan cerminan dari ketidakseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman tanpa perencanaan yang matang telah memicu dampak ekologis yang serius. Upaya mitigasi dan penataan ulang tata ruang yang komprehensif, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, menjadi kunci untuk mengatasi ancaman banjir di Bekasi dan wilayah Jabodetabek secara berkelanjutan. Kegagalan dalam hal ini akan terus menghantui Bekasi dengan ancaman banjir yang tak kunjung usai.