Revisi KUHAP: Independensi KPK dalam Penyadapan Terjamin Asas Lex Specialis

Revisi KUHAP dan Implikasi Terhadap Kewenangan Penyadapan KPK

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah digodok oleh parlemen memunculkan diskusi terkait kewenangan penyadapan oleh aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun draf revisi KUHAP mengatur secara umum mengenai penyadapan, KPK berpegang pada Undang-Undang KPK yang memberikan landasan hukum khusus (lex specialis) terkait kewenangan tersebut.

Pengaturan Penyadapan dalam Draf Revisi KUHAP

Pasal 124 hingga 128 draf revisi KUHAP mengatur mengenai penyadapan yang dilakukan oleh penyidik, PPNS, dan/atau penyidik tertentu. Beberapa poin penting dalam pengaturan tersebut antara lain:

  • Izin Pengadilan: Penyadapan harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan mendesak.
  • Keadaan Mendesak: Keadaan mendesak yang dimaksud meliputi potensi bahaya maut, ancaman luka berat, permufakatan jahat terhadap keamanan negara, atau permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi.
  • Persetujuan Setelah Penyadapan Mendesak: Penyadapan dalam keadaan mendesak harus segera dimohonkan persetujuan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1 hari.
  • Konsekuensi Penolakan: Jika ketua pengadilan negeri menolak memberikan persetujuan, penyadapan wajib dihentikan, dan hasilnya tidak dapat dijadikan barang bukti serta harus dimusnahkan.
  • Jangka Waktu Penyadapan: Penyadapan dapat dilakukan dalam jangka waktu maksimal 30 hari, namun dapat diperpanjang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri.
  • Penyimpanan dan Pemusnahan: Hasil penyadapan disimpan hingga adanya putusan pengadilan dan harus dimusnahkan jika tidak sesuai dengan perkara atau habis masa penyimpanannya.
  • Kerahasiaan: Hasil penyadapan bersifat rahasia.
  • Pengaturan Lebih Lanjut: Ketentuan lebih lanjut mengenai penyadapan akan diatur dengan Undang-Undang mengenai Penyadapan.

Posisi KPK: Lex Specialis Mengesampingkan Ketentuan Umum

KPK berpendapat bahwa aturan penyadapan yang berlaku bagi mereka tetap mengacu pada UU KPK, bukan pada KUHAP. Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, menegaskan bahwa KPK menjalankan kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berdasarkan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU KPK. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menambahkan bahwa penyadapan dalam draf RUU KUHAP bersifat umum, sedangkan KPK memiliki aturan khusus.

Tanak menjelaskan bahwa penyadapan dalam KUHAP dapat dilakukan dalam perkara tindak pidana apa saja dan oleh penyidik Polri serta penyidik lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, KPK tetap berpatokan pada UU KPK. Dengan demikian, berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum), KPK dapat melakukan penyadapan berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tanpa perlu mengikuti ketentuan yang diatur dalam KUHAP.

Dukungan MAKI Terhadap Independensi KPK

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) juga mendukung pandangan bahwa KPK tidak perlu mengikuti aturan penyadapan dalam revisi KUHAP. Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyatakan bahwa KPK tidak memerlukan izin ketua pengadilan negeri dalam melakukan penyitaan, penggeledahan, termasuk penyadapan. Praktik ini sudah berjalan selama ini. Menurut Boyamin, KPK memiliki kewenangan lex specialis yang memungkinkan mereka mengabaikan aturan yang lebih umum karena adanya aturan yang lebih khusus. Dalam penyadapan, KPK hanya perlu meminta izin kepada pimpinan.

Implikasi dan Tantangan ke Depan

Keberadaan asas lex specialis dalam UU KPK memberikan independensi kepada lembaga tersebut dalam melakukan penyadapan. Namun, hal ini juga menimbulkan tantangan untuk memastikan bahwa kewenangan tersebut digunakan secara bertanggung jawab dan tidak melanggar hak asasi manusia. Pengawasan internal dan eksternal yang kuat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan penyadapan oleh KPK.

Selain itu, perlu ada kejelasan dan sinkronisasi antara KUHAP dan UU KPK terkait dengan pengaturan penyadapan. Hal ini penting untuk menghindari tumpang tindih aturan dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Revisi KUHAP harus mempertimbangkan secara matang implikasinya terhadap kewenangan KPK dan memastikan bahwa pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif tanpa mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum.