Kementerian Ketenagakerjaan Geram: Aplikator Diduga Beri THR Ojol Hanya Rp50 Ribu, Tindakan Memalukan!
Kemenaker Murka: THR Ojol Rp50 Ribu dari Aplikator Dianggap Penghinaan
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan reaksi keras terhadap laporan yang beredar mengenai sejumlah pengemudi ojek online (ojol) yang hanya menerima Bonus Hari Raya (BHR) sebesar Rp50 ribu dari perusahaan aplikator. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, mengecam praktik tersebut sebagai tindakan yang "memalukan" dan berjanji akan melakukan investigasi mendalam.
Investigasi Menyeluruh Dilakukan
Menanggapi keluhan yang viral di media sosial, Wamenaker Immanuel Ebenezer menyatakan bahwa nominal BHR yang diterima para pengemudi ojol sangat tidak sesuai dengan harapan Presiden Prabowo Subianto. Ia menegaskan bahwa Kemnaker akan segera turun tangan untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai praktik pemberian BHR yang tidak layak ini.
"Kami akan melakukan pengecekan mendalam terkait alasan pemberian BHR sebesar Rp50 ribu dan berapa jam kerja yang telah ditempuh oleh para pengemudi," ujar Ebenezer, seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Peringatan Keras Bagi Aplikator Nakal
Kemnaker juga berencana untuk mengidentifikasi aplikator-aplikator yang terlibat dalam praktik pemberian BHR yang sangat rendah ini. Ebenezer menegaskan bahwa pemerintah tidak akan segan-segan memberikan peringatan keras kepada aplikator yang terbukti melakukan pelanggaran.
"Jika benar terjadi, ini sangat memalukan. Lebih baik kami sarankan untuk mengembalikan saja uang Rp50 ribu itu. Negara ini mampu, dan saya sebagai Wakil Menteri pun mampu untuk mengganti Rp50 ribu tersebut. Jangan hina bangsa ini, karena pengemudi ojek online adalah patriot bangsa. Jangan hina mereka," tegasnya dengan nada geram.
BHR Seharusnya Sesuai dengan Penghasilan
Isu mengenai nominal BHR yang tidak sesuai ini mencuat setelah banyak pengemudi ojol yang mengungkapkan kekecewaan mereka di media sosial. Keluhan ini didasarkan pada Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04.00/III/2025 yang mengatur tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi.
Dalam surat edaran tersebut, dijelaskan bahwa BHR yang seharusnya diberikan kepada mitra pengemudi adalah sebesar 20% dari penghasilan bulanan selama setahun terakhir. Dengan demikian, jika seorang pengemudi ojol memiliki penghasilan rata-rata Rp2 juta per bulan, maka ia berhak menerima BHR sebesar Rp400 ribu.
Realita Berbanding Terbalik dengan Aturan
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas pengemudi ojol hanya menerima BHR sebesar Rp50 ribu. Kondisi inilah yang kemudian memicu protes dari para mitra pengemudi dan asosiasi terkait.
Raden Igun Wicaksono, Ketua Umum asosiasi ojol Garda Indonesia, mengungkapkan bahwa banyak pengemudi ojol yang telah bekerja selama lebih dari 5 tahun di satu platform aplikator, namun tetap saja hanya menerima BHR sebesar Rp50 ribu.
Harapan Presiden Tidak Terpenuhi
Raden Igun menambahkan, Presiden Prabowo Subianto berharap agar BHR yang diberikan kepada mitra pengemudi tidak kurang dari Rp1 juta. Namun, kenyataannya, nominal tertinggi yang diterima justru jauh di bawah angka tersebut, bahkan kebanyakan hanya menerima Rp50 ribu.
"Hal ini kami protes keras dan mengecam aplikator yang kami anggap telah melakukan akal-akalan menipu Presiden RI, membangkang Menaker RI, dan membohongi Ojol seluruh Indonesia hanya demi menjaga citra baik di mata Presiden RI," pungkas Igun dengan nada kecewa.
Berikut poin-poin penting dari permasalahan ini:
- Banyak pengemudi ojol menerima BHR hanya Rp50 ribu.
- Kemnaker mengecam tindakan aplikator dan akan melakukan investigasi.
- BHR seharusnya 20% dari penghasilan bulanan selama setahun terakhir.
- Presiden Prabowo berharap BHR minimal Rp1 juta.
- Asosiasi ojol mengecam aplikator yang dianggap curang.
Kemnaker berjanji akan menindak tegas aplikator yang terbukti melanggar aturan dan merugikan para pengemudi ojol. Kasus ini menjadi sorotan penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan para pekerja di sektor informal.