Kenaikan Jabatan Profesor: Tantangan dan Perbandingan Standar Internasional
Mengurai Kompleksitas Kenaikan Jabatan Profesor di Indonesia dan Perbandingan Global
Kenaikan jabatan akademik, khususnya menuju guru besar atau profesor, menjadi topik yang selalu relevan dalam dunia pendidikan tinggi. Peraturan terbaru Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikbudristek) No 63/M/KEP/2025 mengenai pembinaan dan pengembangan profesi dosen, kembali menyoroti linimasa promosi ke lektor kepala dan profesor. Namun, esensi dari aturan ini tidak menunjukkan perubahan signifikan dibandingkan regulasi sebelumnya.
Pengalaman kolega di Jepang dan Singapura, yang masing-masing berjuang untuk meraih gelar profesor atau dipanggil profesor meski belum menduduki jabatan tersebut secara formal, memberikan perspektif menarik. Di banyak negara, gelar profesor seringkali disematkan pada associate professor, sebuah praktik yang jarang ditemui di Indonesia. Kondisi ini memicu pertanyaan tentang standar dan proses kenaikan jabatan profesor di Indonesia dibandingkan dengan negara lain.
Perbandingan Proses Promosi Profesor di Berbagai Negara
Diskusi dengan kolega di Malaysia mengindikasikan bahwa promosi profesor di sana juga tidak mudah. Sistem di Malaysia, seperti di banyak negara lain, memberikan otonomi kepada masing-masing universitas untuk mengatur dan menetapkan keprofesoran. Hal ini berarti gelar profesor dari sebuah universitas tidak otomatis berlaku di universitas lain.
Universitas-universitas terkemuka di Malaysia, yang berambisi menduduki peringkat tinggi dalam ranking dunia, menerapkan persyaratan promosi yang sangat ketat. Tujuannya adalah untuk memastikan kualitas profesor mereka setara dengan standar internasional, sehingga memudahkan kolaborasi riset dan publikasi. Fakta bahwa universitas-universitas Malaysia menduduki peringkat lebih tinggi daripada universitas-universitas Indonesia dalam berbagai ranking global, seperti Times Higher Education (THE) dan Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings, mengindikasikan adanya perbedaan signifikan dalam standar kualitas.
Azman dkk. (2016) meneliti bahwa meskipun setiap universitas di Malaysia memiliki aturan yang berbeda, umumnya terdapat penilaian tambahan selain tridarma perguruan tinggi yang mirip dengan Indonesia, seperti:
- Keaktifan sebagai pembicara seminar
- Perolehan dana riset
- Indeks-h tertentu (ada kampus yang menetapkan indeks-h minimal 7, ada yang 15)
Bahkan, di kampus dengan minimal indeks-h 15, angkanya dinaikkan ketika dipimpin oleh rektor yang memiliki indeks-h 100. Usia pensiun profesor di Malaysia (60 tahun), Singapura (63 tahun), dan Jepang (65 tahun) juga lebih rendah daripada di Indonesia (70 tahun). Model pensiun lebih dini ini mendorong regenerasi yang lebih cepat, memberikan kesempatan bagi profesor muda untuk naik jabatan.
Tantangan dan Realitas Promosi Profesor di Indonesia
Sistem keprofesoran di Indonesia diatur secara terpusat, memberikan keseragaman persyaratan yang membuat gelar profesor melekat di kampus manapun. Namun, prosesnya seringkali panjang dan berbelit, terutama bagi dosen di perguruan tinggi swasta (PTS). Ironisnya, ada anggapan bahwa promosi profesor di PTS lebih mudah, sehingga kualitasnya dianggap lebih rendah.
Pemerintah berupaya mengatasi keruwetan ini, menghasilkan peningkatan jumlah profesor secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun rasio profesor terhadap jumlah dosen meningkat, angkanya masih jauh di bawah negara-negara tetangga.
Kualitas profesor menjadi perhatian utama. Dibandingkan dengan negara lain, persyaratan promosi profesor di Indonesia relatif ringan, yaitu cukup memiliki satu publikasi di jurnal internasional bereputasi. Namun, persyaratan ini pun masih dianggap sulit oleh sebagian pihak. Standar yang rendah ini berdampak pada kualitas profesor Indonesia, yang belum setara dengan profesor di negara lain yang mensyaratkan belasan atau puluhan artikel bereputasi dan indeks-h tinggi.
Profesor di Indonesia menerima tunjangan profesi dan kehormatan, namun banyak yang berhenti mengembangkan diri setelah menerima surat keputusan kenaikan jabatan. Padahal, gelar profesor seharusnya menjadi titik awal untuk kolaborasi internasional dan peningkatan kualitas diri. Kolaborasi dengan kolega internasional, meski tidak mudah, dapat menjadi langkah penting bagi profesor Indonesia untuk mencapai kesetaraan dengan standar global.
Kesimpulan:
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, perlu adanya evaluasi mendalam terhadap standar dan proses kenaikan jabatan profesor. Belajar dari negara lain, seperti Malaysia, Singapura, dan Jepang, dapat memberikan wawasan berharga untuk meningkatkan kualitas profesor Indonesia dan mendorong kolaborasi internasional. Sebagaimana yang ditulis Porter Gale, “Your network is your net worth.” Tanpa kemauan memulai kolaborasi internasional, maka profesor Indonesia hanya 'profesor-profesoran' dengan net worth tetap rendah.