Indonesia Berpacu dengan Waktu: Pemanfaatan Energi Terbarukan Terhambat Meski Potensi 333 GW Menanti
Akselerasi Energi Terbarukan: Indonesia Hadapi Tantangan Optimalkan Potensi 333 GW
Jakarta, Indonesia – Potensi energi terbarukan Indonesia yang sangat besar, mencapai 333 gigawatt (GW), masih belum dimanfaatkan secara optimal. Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan bahwa potensi tersebut, yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tenaga bayu (PLTB), dan minihidro (PLTM), menghadapi berbagai kendala dalam realisasinya.
Kajian IESR bertajuk "Unlocking Indonesia’s Renewable Future" menganalisis potensi ini dengan mempertimbangkan regulasi tarif yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 serta ketersediaan infrastruktur jaringan listrik yang memadai, seperti gardu induk dan transmisi. Hasil kajian menunjukkan adanya disparitas signifikan antara potensi teknis energi terbarukan Indonesia yang mencapai lebih dari 3.700 GW dengan pemanfaatannya yang masih jauh dari harapan.
Tantangan dan Peluang
Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menekankan pentingnya percepatan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya PLTS dan PLTB. Menurut Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan IESR, Pintoko Aji, dari total potensi 333 GW, sekitar 167 GW berasal dari PLTB daratan (onshore), 165,9 GW dari PLTS daratan (ground-mounted), dan 0,7 GW dari PLTM. Potensi ini didasarkan pada simulasi finansial dan skema public-private partnership di sekitar 1.500 lokasi yang memenuhi syarat teknis.
Menariknya, sekitar 205,9 GW atau 61 persen dari total potensi tersebut memiliki tingkat pengembalian Equity Internal Rate of Return (EIRR) di atas 10 persen, yang mengindikasikan potensi investasi yang menjanjikan. Pintoko Aji menyoroti potensi minihidro di wilayah Sumatera, sementara potensi tenaga angin terbesar berada di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Energi surya juga menyimpan potensi besar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk merealisasikan potensi besar ini, IESR memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait:
- Alokasi Lahan: Pemerintah perlu mengalokasikan penggunaan lahan untuk energi terbarukan dalam tata ruang daerah.
- Penyederhanaan Proses Pengadaan Lahan: Proses pengadaan lahan harus disederhanakan untuk mengurangi risiko investasi.
- Penetapan Target: Pemerintah perlu menetapkan target pemanfaatan energi terbarukan di tiap daerah.
- Perencanaan dan Ekspansi Jaringan Listrik: PLN didorong untuk menyusun perencanaan dan ekspansi jaringan listrik ke lokasi-lokasi dengan potensi keuntungan tinggi.
- Reformasi Mekanisme Pengadaan: Mekanisme pengadaan energi terbarukan perlu direformasi.
- Prioritaskan Proyek Potensial: Pengembang energi terbarukan diharapkan memprioritaskan proyek dengan potensi keuntungan besar serta mengoptimalkan desain dan perencanaan keuangan.
Energi Surya Sebagai Tulang Punggung Transisi
Ketua Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Herman Darnel Ibrahim, meyakini bahwa energi surya akan memainkan peran sentral dalam transisi energi Indonesia. Perkembangan teknologi energi surya yang semakin matang dan kompetitif menjadikannya pilihan yang menarik dibandingkan dengan pembangkit tenaga nuklir maupun gas.
Indonesia memiliki komitmen kuat untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dolar AS yang disepakati pada tahun 2022, Indonesia menargetkan puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 dan bauran energi terbarukan sebesar 34 persen pada tahun 2030. Percepatan pemanfaatan energi terbarukan menjadi kunci untuk mencapai target-target ambisius ini.