Represi Demonstrasi di Turkiye Meningkat: Jurnalis Jadi Sasaran di Tengah Gelombang Protes
Represi Demonstrasi di Turkiye Meningkat: Jurnalis Jadi Sasaran di Tengah Gelombang Protes
Gelombang demonstrasi melanda Turkiye menyusul penahanan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, memicu respons keras dari pemerintah. Aksi unjuk rasa, yang disebut-sebut sebagai yang terbesar dalam satu dekade terakhir, awalnya dipicu oleh tuduhan korupsi terhadap Imamoglu, yang oleh pendukungnya dianggap bermotif politik untuk menjegal karirnya menjelang pemilu 2028.
Pemerintah Turkiye bereaksi keras terhadap demonstrasi tersebut, menangkap hampir 1.500 orang dan menuai kecaman internasional atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Ironisnya, tindakan represif tersebut tidak hanya menyasar para demonstran, tetapi juga para jurnalis yang bertugas meliput peristiwa tersebut.
Penangkapan Jurnalis Memicu Kecaman Internasional
Pada tanggal 25 Maret 2025, tujuh jurnalis, termasuk fotografer AFP Yasin Akgul, ditangkap dengan tuduhan keterlibatan dalam aksi ilegal. Tuduhan ini langsung dibantah oleh CEO AFP Fabrice Fries, yang menegaskan bahwa Akgul hanya menjalankan tugas jurnalistiknya. Fries menyampaikan protes keras dan mendesak pembebasan segera Akgul.
Organisasi Reporters Without Borders (RSF) juga mengecam penangkapan tersebut, dengan perwakilan RSF di Turkiye, Erol Onderoglu, menyoroti kondisi kebebasan pers yang memprihatinkan di negara tersebut. Penangkapan ini semakin memperburuk citra Turkiye di mata internasional terkait kebebasan pers.
Reaksi Internasional Terhadap Tindakan Represif
Tindakan represif pemerintah Turkiye memicu kecaman keras dari berbagai pihak internasional, termasuk Amerika Serikat, Dewan Eropa untuk Hak Asasi Manusia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mereka mengkritik penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan terhadap para demonstran dan jurnalis.
Menteri Dalam Negeri Turkiye, Ali Yerlikaya, membenarkan penangkapan 1.418 orang yang terlibat dalam demonstrasi, dan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mentolerir tindakan yang mengganggu ketertiban umum. Sikap ini menunjukkan bahwa pemerintah Turkiye tidak akan mundur dalam menghadapi gelombang protes.
Eskalasi Protes dan Seruan untuk Aksi Lebih Lanjut
Demonstrasi yang dimulai setelah penangkapan Imamoglu pada 19 Maret 2025, telah menyebar ke berbagai kota di Turkiye. Di Istanbul, mahasiswa dan warga sipil turun ke jalan dengan membawa spanduk dan bendera, menyerukan pengunduran diri pemerintah.
Ketua Partai Rakyat Republik (CHP), Ozgur Ozel, menyerukan aksi unjuk rasa besar-besaran di Lapangan Maltepe, Istanbul, pada hari Sabtu mendatang. Aksi ini bertujuan untuk mendukung Imamoglu, menolak penangkapannya, dan menuntut pemilu dini. Ozel menyebut aksi ini sebagai "referendum terbuka terbesar dalam sejarah."
Di sisi lain, Presiden Erdogan, yang telah memimpin Turkiye selama 25 tahun, mengecam aksi-aksi tersebut sebagai bentuk "teror jalanan" dan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menyerah pada tekanan dari para demonstran. Ia menyatakan bahwa para pelaku kekerasan jalanan tidak akan menemukan jalan keluar.
Berikut point-point penting dalam demonstrasi ini:
- Penangkapan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, memicu demonstrasi besar-besaran.
- Pemerintah Turkiye merespons dengan tindakan represif, menangkap ribuan demonstran dan jurnalis.
- Penangkapan jurnalis memicu kecaman internasional terkait kebebasan pers.
- Organisasi internasional dan negara-negara asing mengkritik penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat.
- Oposisi menyerukan aksi unjuk rasa lebih lanjut untuk menuntut pemilu dini.
- Presiden Erdogan mengecam demonstrasi sebagai "teror jalanan."
Situasi di Turkiye saat ini sangat tegang, dengan potensi eskalasi konflik lebih lanjut antara pemerintah dan para demonstran. Masa depan politik Imamoglu dan arah demokrasi di Turkiye masih belum pasti.