Polemik 'THR' Ojol Rp50 Ribu: Kemenaker Panggil Aplikator untuk Klarifikasi

Polemik pemberian 'Bonus Hari Raya' (BHR) atau yang lebih dikenal dengan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pengemudi ojek online (ojol) senilai Rp50 ribu menuai protes keras. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) merespons cepat keluhan tersebut dengan berencana memanggil perusahaan aplikator transportasi online untuk meminta klarifikasi.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, menyatakan bahwa pihaknya masih mengumpulkan laporan lengkap terkait isu ini melalui Satuan Tugas (Satgas) di Posko THR Kemenaker. Ia menegaskan komitmen Kemenaker untuk mendalami implementasi pemberian BHR oleh perusahaan aplikator. "Dalam dua hari ini kita akan (panggil), sekaligus kami juga, sekarang kan ada beberapa pengemudi dan kurir yang online yang juga melapor ke Satgas kita," ungkap Menaker di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, pada Selasa (25/3/2025).

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer, menambahkan bahwa pemberian BHR kepada ojol saat ini masih bersifat imbauan. Ia menekankan pentingnya niat baik dari platform digital untuk memberikan bantuan kepada mitra pengemudinya, berapapun nilainya. "Nah, itu kan yang paling penting di situ dulu, poin itu. Ada keinginan dan kemauan platform digital ini memberikan Bantuan. Itu dulu. (Berapapun jumlahnya?) Iya, berapapun jumlahnya," jelasnya.

Lebih lanjut, Wamenaker menjelaskan bahwa aplikator memiliki sistem kategorisasi yang memengaruhi besaran BHR yang diterima oleh masing-masing pengemudi. Ia mengungkapkan bahwa ojol yang menerima BHR sebesar Rp50 ribu umumnya masuk dalam kategori pekerja paruh waktu atau hanya menjadikan pekerjaan tersebut sebagai sambilan. "Jadi, kenapa mendapatkan Rp50.000 itu? Karena pertimbangan mereka, mereka itu pekerja part-time. Jadi bukan benar-benar mereka yang ngojek beneran lah. Jadi mereka cuma sambilan, pekerja sambilan," ujar Noel.

Wamenaker juga menyampaikan bahwa pihak aplikator mengklaim sebelumnya tidak memberikan BHR kepada kategori pengemudi tersebut. Namun, atas dasar pertimbangan moral, mereka memberikan bantuan tersebut. Ia berharap para pengemudi ojol dapat memahami kondisi ini.

Kemenaker telah meminta keterangan langsung dari aplikator terkait polemik BHR Rp50 ribu ini. Aplikator menjelaskan bahwa pengemudi yang menerima BHR rendah termasuk dalam kategori terbawah, dengan tingkat aktivitas yang rendah dan masa kerja yang relatif singkat. Meskipun demikian, Kemenaker berjanji untuk terus berdiskusi dengan aplikator guna mencari solusi terbaik bagi semua pihak.

"Karena memang kebanyakan narasinya bahwa mereka mendapatkan Rp 50.000. Kita tanya, kenapa mendapatkan Rp 50.000? Kita telepon Gojek, kita telepon Grab. Akhirnya mereka ceritakan, ada kategori 1, 2, 3, 4, 5. Akhirnya kita tanya, kenapa mendapatkan Rp50.000? Itu, Pak, mereka itu kategorinya yang 4 dan 5. Mereka itu kerja part-time. Banyak yang nggak aktif juga, pekerja sambilan," pungkas Noel.

Poin-poin penting dari polemik ini:

  • Kemenaker memanggil aplikator terkait BHR ojol Rp50 ribu.
  • Pemberian BHR masih bersifat imbauan.
  • Aplikator memiliki sistem kategorisasi yang memengaruhi besaran BHR.
  • Ojol yang menerima BHR rendah umumnya pekerja paruh waktu.
  • Kemenaker akan terus berdiskusi dengan aplikator untuk mencari solusi.

Rincian Klarifikasi Aplikator:

  • Kategori Pekerja: Aplikator mengklasifikasikan pengemudi berdasarkan tingkat aktivitas dan dedikasi, yang memengaruhi besaran BHR yang diterima.
  • Pekerja Paruh Waktu: Banyak pengemudi yang menerima BHR rendah bekerja paruh waktu atau sebagai pekerjaan sambilan, yang memengaruhi pertimbangan aplikator dalam memberikan BHR.
  • Masa Kerja: Pengemudi dengan masa kerja yang lebih singkat juga cenderung menerima BHR yang lebih rendah.

Kemenaker akan terus memantau situasi ini dan berupaya mencari solusi yang adil bagi seluruh pihak yang terlibat. Pemerintah berharap aplikator dapat mempertimbangkan kembali sistem kategorisasi dan besaran BHR yang diberikan kepada para pengemudi ojol, mengingat peran penting mereka dalam perekonomian dan mobilitas masyarakat.