Tragedi di Gaza: Jurnalis Al Jazeera Gugur Akibat Serangan Israel, Dugaan Pembunuhan Terarah Mencuat

Duka Mendalam: Jurnalis Al Jazeera Jadi Korban Serangan Israel di Gaza

Kabar duka kembali menyelimuti dunia jurnalistik. Hossam Shabat, seorang jurnalis Al Jazeera, dilaporkan tewas dalam serangan militer Israel di Jalur Gaza pada Senin, 24 Maret 2025. Insiden tragis ini menambah daftar panjang jurnalis yang menjadi korban konflik berkepanjangan di wilayah tersebut.

Menurut laporan Al Jazeera, Shabat, yang baru berusia 23 tahun, menghembuskan nafas terakhir di Beit Lahia, Gaza utara. Mobil yang ia tumpangi menjadi target serangan mendadak tanpa peringatan dari pihak militer Israel. Ironisnya, sebelum kejadian nahas ini, Shabat sempat mengalami luka-luka akibat serangan sebelumnya. Namun, semangatnya untuk terus memberitakan kebenaran di lapangan tak pernah padam.

Sebuah pesan mengharukan tertinggal di akun media sosial X milik Shabat. Dalam unggahan terakhirnya, ia menulis, "Jika kalian membaca ini, itu berarti saya telah terbunuh—kemungkinan besar ditargetkan oleh pasukan pendudukan Israel." Ia juga berpesan agar dunia tidak berpaling dari penderitaan rakyat Palestina dan terus berjuang demi kemerdekaan mereka.

Serangan Ganda dan Reaksi Keras Komunitas Internasional

Pada hari yang sama, Mohammad Mansour, jurnalis dari Palestine Today, juga dilaporkan tewas dalam serangan Israel di Khan Yunis, Gaza selatan. Tragisnya, Mansour tewas bersama istri dan anaknya di rumah mereka, tanpa adanya peringatan sebelumnya.

Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), sebuah organisasi yang berbasis di New York, mengutuk keras pembunuhan Shabat dan Mansour. CEO CPJ, Jodie Ginsberg, dengan tegas menyatakan bahwa pembunuhan jurnalis secara sengaja merupakan kejahatan perang. CPJ juga menyerukan penyelidikan independen untuk memastikan apakah kedua jurnalis tersebut sengaja menjadi target serangan.

Data Suram: Ratusan Jurnalis Jadi Korban Konflik

Data CPJ per 25 Maret 2024 mencatat bahwa setidaknya 173 jurnalis telah terbunuh sejak 7 Oktober 2023, awal mula perang Israel-Hamas. Dari jumlah tersebut, 165 berasal dari Palestina, dua dari Israel, dan enam dari Lebanon. Selain itu, 59 jurnalis mengalami luka-luka, dua dinyatakan hilang, dan 75 lainnya ditangkap.

Jumlah korban yang tinggi dari kalangan jurnalis ini memicu keprihatinan mendalam dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB menilai pembunuhan dan penahanan jurnalis ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Serangan terhadap jurnalis bukan hanya menjadi tragedi bagi dunia pers, tetapi juga ancaman serius terhadap hak atas informasi. Pembunuhan pekerja media dalam jumlah besar menciptakan kekosongan informasi, yang membuat dunia semakin sulit mengetahui situasi sebenarnya di lapangan.

Eskalasi Konflik dan Krisis Kemanusiaan di Gaza

Di luar pembunuhan jurnalis, Israel terus menggempur Gaza tanpa henti selama tujuh hari berturut-turut sejak mengakhiri gencatan senjata pada 18 Maret 2025. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sejak konflik Hamas-Israel pecah pada 7 Oktober 2023, sedikitnya 50.082 warga Palestina tewas dan 113.408 lainnya terluka. Al Jazeera pada Senin lalu menyebutnya sebagai salah satu hari paling berdarah, dengan 65 orang dilaporkan tewas sejak fajar akibat serangan udara dan artileri Israel.

Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk dengan terbatasnya akses terhadap air bersih, makanan, dan obat-obatan. Rumah sakit kewalahan menangani jumlah korban luka yang terus bertambah, sementara ribuan warga sipil terpaksa mengungsi dari rumah mereka akibat pertempuran yang semakin intensif.

Dunia internasional terus menyerukan diakhirinya kekerasan dan dimulainya kembali perundingan damai antara Israel dan Palestina. Namun, harapan untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan tampaknya semakin jauh dari kenyataan.