Kekecewaan Pengemudi Ojol: Harapan BHR Rp 500 Ribu Berujung Realitas Rp 50 Ribu

Realitas BHR Tak Sesuai Harapan: Curahan Hati Pengemudi Ojol

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) terkait Bantuan Hari Raya (BHR) bagi pengemudi ojek online (ojol) seharusnya menjadi angin segar. Namun, implementasinya di lapangan justru menuai kekecewaan. Banyak pengemudi yang semula berharap menerima BHR hingga Rp 500.000, berdasarkan perhitungan proporsi gaji bulanan, harus menelan pil pahit kenyataan.

Nadi (42), seorang pengemudi ojol di Jakarta, mengungkapkan kekecewaannya. Sempat menghitung potensi BHR yang bisa diterimanya, ia akhirnya gigit jari karena tidak menerima BHR sesuai ekspektasi dari perusahaan aplikasinya. "Ancang-ancang saya sekitar Rp 500.000 patokannya. Sekarang? Enggak dapat," ujarnya dengan nada lesu.

Ilustrasi senada juga datang dari Edi (42), pengemudi ojol yang telah beroperasi di Tangerang Selatan selama lebih dari delapan tahun. Ia mengaku hanya menerima Rp 50.000, jauh dari harapan semula antara Rp 300.000 hingga Rp 500.000. "Kalau dari impian angan-angan driver ya seenggaknya ya Rp 300.000 atau Rp 500.000 lah begitu. Lah, ini cuman Rp 50.000 ya sudahlah," katanya pasrah.

Imbauan Presiden dan Realisasi di Lapangan

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah mengimbau perusahaan aplikasi untuk memberikan BHR kepada pengemudi ojol, sesuai dengan Surat Edaran No. M/3/HK.04.00/III/2025. Imbauan ini bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan para pengemudi ojol dan kurir online yang telah menjadi tulang punggung transportasi dan logistik di perkotaan.

Surat edaran tersebut secara jelas menyatakan bahwa BHR wajib diberikan oleh perusahaan aplikasi kepada seluruh mitra pengemudi yang terdaftar secara resmi. Namun, kenyataannya, perusahaan aplikasi memiliki kriteria dan syarat yang beragam dalam menentukan nominal BHR yang diberikan. Hal ini menyebabkan disparitas yang signifikan antara harapan pengemudi dan realisasi yang mereka terima.

Variasi Nominal BHR dan Keterbatasan Informasi

Gojek, salah satu perusahaan aplikasi terkemuka, mengklaim menetapkan nominal BHR tertinggi hingga Rp 900.000. Namun, pengakuan ini justru memunculkan pertanyaan. Baik Nadi maupun Edi mengaku belum pernah menjumpai pengemudi yang menerima BHR sebesar itu. Kebanyakan pengemudi hanya menerima antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000.

"Dengernya sih Rp 900.000, tapi saya belum lihat. Belum ketemu sama orangnya. Kebanyakan dapatnya antara Rp 50.000-Rp100.000," ungkap Edi.

Kondisi ini menyoroti beberapa isu penting, diantaranya:

  • Kurangnya transparansi: Kriteria dan mekanisme perhitungan BHR oleh masing-masing perusahaan aplikasi tidak diinformasikan secara jelas kepada pengemudi.
  • Disparitas nominal: Terdapat perbedaan signifikan antara nominal BHR yang diharapkan dan yang diterima oleh pengemudi.
  • Kesenjangan informasi: Informasi mengenai nominal BHR tertinggi yang diklaim oleh perusahaan aplikasi tidak sampai ke pengemudi di lapangan.

Kekecewaan yang dialami Nadi, Edi, dan pengemudi ojol lainnya menjadi catatan penting bagi pemerintah dan perusahaan aplikasi. Diperlukan upaya lebih lanjut untuk memastikan implementasi BHR yang adil, transparan, dan sesuai dengan harapan para pengemudi yang telah berkontribusi besar bagi perekonomian.

Tindak Lanjut yang Diharapkan

Untuk mengatasi permasalahan ini, beberapa langkah konkret dapat dipertimbangkan:

  • Standarisasi BHR: Pemerintah perlu menyusun standar minimal BHR bagi pengemudi ojol, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti pendapatan bulanan dan lama kemitraan.
  • Transparansi perhitungan: Perusahaan aplikasi wajib memberikan informasi yang jelas dan rinci mengenai mekanisme perhitungan BHR kepada pengemudi.
  • Pengawasan implementasi: Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap implementasi BHR oleh perusahaan aplikasi, untuk memastikan bahwa hak-hak pengemudi terpenuhi.

Dengan adanya langkah-langkah tersebut, diharapkan BHR dapat benar-benar menjadi bentuk apresiasi dan dukungan yang nyata bagi para pengemudi ojol, bukan sekadar harapan yang tak terpenuhi.