Ekonomi dan Lingkungan Terancam: Proyek DME Batu Bara Menuai Kontroversi

Ekonomi dan Lingkungan Terancam: Proyek DME Batu Bara Menuai Kontroversi

Proyek ambisius pemerintah untuk mengkonversi batu bara menjadi dimethyl eter (DME) sebagai pengganti LPG tengah dihadapkan pada berbagai tantangan, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyoroti ketidakekonomian proyek ini. Ia mengungkapkan bahwa biaya produksi DME dari batu bara mencapai US$ 0,4 hingga US$ 0,5 per liter, sebuah angka yang hanya dapat tercapai jika harga batu bara berada di level yang sangat rendah, mengindikasikan kebutuhan subsidi yang signifikan.

"Keekonomian proyek ini sangat bergantung pada subsidi terhadap batu bara," tegas Fabby. "Subsidi baik untuk bahan baku maupun harga jual DME akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam jangka panjang, sebuah beban yang perlu dipertimbangkan secara matang." Selain aspek ekonomi, risiko pasar juga menjadi pertimbangan penting. Kontrak jangka panjang yang biasanya dibutuhkan oleh offtaker (pembeli) untuk mengembalikan investasi menjadi tantangan tersendiri, mengingat ketidakpastian permintaan gas di masa mendatang.

"Tidak ada jaminan bahwa permintaan gas akan terus tumbuh seperti saat ini. Ini merupakan risiko yang perlu diantisipasi," jelas Fabby. Lebih jauh, proyek ini juga menimbulkan kekhawatiran lingkungan. Proses gasifikasi batu bara menghasilkan emisi karbon dioksida yang cukup signifikan, sekitar 3,5 ton CO2e per ton DME. Hal ini berpotensi memperparah emisi gas rumah kaca dan menghambat upaya Indonesia dalam transisi energi menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Realitas ini menguatkan argumentasi bahwa proyek ini justru akan memperpanjang ketergantungan Indonesia pada energi fosil.

Fabby mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek DME batu bara, terutama mengingat beberapa investor telah menarik diri. Sebagai alternatif, IESR menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada pengembangan infrastruktur gas kota dan program elektrifikasi dapur rumah tangga untuk mencapai target transisi energi secara efektif dan berkelanjutan. Hal ini diyakini dapat memberikan dampak yang lebih besar dan berkelanjutan bagi masyarakat.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa pemerintah akan mendanai proyek ini dengan sumber daya domestik, mengatasi kendala sebelumnya terkait ketergantungan pada investor asing. Proyek ini, menurut Bahlil, merupakan bagian dari strategi hilirisasi yang lebih luas, mencakup 26 sektor komoditas dan diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan nilai tambah ekonomi nasional. Namun, argumen ini tetap harus dikaji lebih dalam mengingat potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan ekonomi jangka panjang.

Proyek DME ini direncanakan akan dikembangkan di beberapa lokasi, termasuk Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Pemerintah bertekad untuk melanjutkan proyek ini meskipun terdapat tantangan. Namun, pertimbangan yang komprehensif terhadap aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial perlu dilakukan untuk memastikan proyek ini tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek, tetapi juga berkelanjutan dan ramah lingkungan. Keberhasilan proyek ini juga bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengelola risiko dan memastikan keberlanjutannya.

Tantangan yang Dihadapi: * Ketidakekonomian: Biaya produksi yang tinggi dan ketergantungan pada subsidi. * Risiko Pasar: Ketidakpastian permintaan gas jangka panjang. * Dampak Lingkungan: Emisi karbon dioksida yang signifikan. * Ketergantungan Energi Fosil: Menghambat transisi energi ke sumber energi yang lebih bersih.

Alternatif Solusi: * Pengembangan infrastruktur gas kota. * Elektrifikasi dapur rumah tangga.