Revisi KUHAP: Perubahan Signifikan dalam Prosedur Penangkapan, Pemeriksaan, dan Penahanan

Revisi KUHAP: Perubahan Signifikan dalam Prosedur Penangkapan, Pemeriksaan, dan Penahanan

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini sedang dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, menjanjikan sejumlah perubahan penting dalam prosedur penangkapan, pemeriksaan, dan penahanan tersangka tindak pidana. Draf revisi KUHAP ini membawa beberapa pembaruan yang signifikan dibandingkan dengan KUHAP yang berlaku saat ini, yang berpotensi memengaruhi proses hukum pidana di Indonesia.

Pembatasan Penggeledahan

Salah satu poin penting dalam draf revisi KUHAP adalah pembatasan lokasi yang tidak boleh digeledah oleh penyidik. Pasal 108 secara tegas melarang penggeledahan di:

  • Ruang sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
  • Ruang yang sedang digunakan untuk ibadah atau upacara keagamaan.
  • Ruang sidang pengadilan.

Larangan ini sebenarnya bukan hal baru, karena sudah tercantum dalam KUHAP yang berlaku (UU No. 8 Tahun 1981). Namun, revisi KUHAP memberikan penegasan dan detail yang lebih jelas mengenai larangan penggeledahan tersebut.

Penangkapan: Aturan yang Lebih Detail

Revisi KUHAP juga memberikan perhatian khusus pada prosedur penangkapan, dengan lima pasal (87-91) yang mengatur secara rinci tentang siapa yang berwenang melakukan penangkapan, dasar penangkapan, dan hak-hak tersangka. Beberapa poin penting dalam aturan penangkapan ini adalah:

  • Kewenangan Penangkapan: Penyelidik dapat melakukan penangkapan atas perintah penyidik. Penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. PPNS dan penyidik tertentu tidak dapat melakukan penangkapan kecuali atas perintah penyidik Polri, dengan pengecualian untuk penyidik tertentu di Kejaksaan RI, KPK, dan TNI AL.
  • Dasar Penangkapan: Penangkapan harus didasarkan pada dugaan tindak pidana dengan minimal dua alat bukti.
  • Prosedur Penangkapan: Penyidik wajib memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada tersangka. Surat perintah penangkapan harus berisi identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara, dan tempat pemeriksaan. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarga tersangka atau orang yang ditunjuk, paling lambat satu hari setelah penangkapan. Dalam kasus tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah, namun pihak yang melakukan penangkapan harus segera menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penyidik.
  • Masa Penangkapan: Penangkapan dilakukan paling lama satu hari, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Kelebihan waktu penangkapan akan diperhitungkan sebagai masa penahanan.
  • Pembatasan Penangkapan: Penangkapan tidak dapat dilakukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana denda paling banyak kategori II (Rp 10 juta), kecuali jika tersangka tidak memenuhi panggilan penyidik secara sah dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.

Perbandingan dengan KUHAP yang berlaku menunjukkan bahwa revisi KUHAP memberikan pengaturan yang lebih detail dan komprehensif mengenai penangkapan. Hal ini mencakup pengaturan tentang siapa saja yang berhak melakukan penangkapan, jumlah minimal alat bukti, dan perhitungan masa penangkapan sebagai masa penahanan.

Pemeriksaan dengan CCTV: Upaya Pencegahan Kekerasan

Salah satu inovasi dalam revisi KUHAP adalah penggunaan kamera pengawas (CCTV) selama pemeriksaan oleh penyidik. Pasal 31 mengatur bahwa sebelum pemeriksaan dimulai, penyidik wajib memberitahukan kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau didampingi oleh advokat. Pemeriksaan dapat direkam dengan CCTV, dan rekaman tersebut hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan dan dalam penguasaan penyidik. Rekaman CCTV dapat digunakan oleh tersangka, terdakwa, atau penuntut umum dalam pemeriksaan di sidang pengadilan atas permintaan hakim.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menjelaskan bahwa penggunaan CCTV bertujuan untuk mencegah kekerasan dalam penyidikan. Pengalaman kasus kekerasan dalam penyidikan menjadi latar belakang pengaturan ini. Dengan adanya CCTV, diharapkan proses pemeriksaan menjadi lebih transparan dan akuntabel.

Penahanan: Syarat dan Jangka Waktu

Revisi KUHAP juga mengatur secara detail mengenai penahanan. Pasal 93 mengatur bahwa penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah, jika tersangka atau terdakwa:

  • Mengabaikan panggilan penyidik sebanyak dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.
  • Memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan.
  • Tidak bekerja sama dalam pemeriksaan.
  • Menghambat proses pemeriksaan.
  • Berupaya melarikan diri.
  • Berupaya merusak dan menghilangkan barang bukti.
  • Melakukan ulang tindak pidana.
  • Terancam keselamatannya atas persetujuan atau permintaan tersangka atau terdakwa.
  • Mempengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya.

Hal yang menarik adalah aturan mengenai penahanan atas permintaan tersangka atau terdakwa, yang belum diatur dalam KUHAP saat ini. Selain itu, revisi KUHAP juga mengatur jangka waktu penahanan. Penahanan pada tahap penyidikan maksimal 60 hari, penahanan oleh penuntut umum maksimal 50 hari, dan penahanan oleh hakim (tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung) maksimal 90 hari. Jika batas waktu terlampaui, tersangka atau terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan, namun masa penahanan dapat diperpanjang dengan syarat tertentu.

Perbedaan jangka waktu penahanan di tingkat Mahkamah Agung (MA) juga menjadi perhatian. Dalam KUHAP saat ini, MA dapat melakukan penahanan maksimal 110 hari, sedangkan dalam draf revisi KUHAP, jangka waktu tersebut dipersingkat menjadi 90 hari.

Secara keseluruhan, revisi KUHAP membawa perubahan signifikan dalam prosedur penangkapan, pemeriksaan, dan penahanan. Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan kepastian hukum, melindungi hak-hak tersangka, dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam proses peradilan pidana.