Paradoks Energi: Indonesia di Persimpangan Jalan Antara Ambisi Swasembada dan Komitmen Iklim Global

Dilema Energi Indonesia di Tengah Arus Konservatisme Global

Gema "Donald Trump Effect" terus bergulir di kancah global, menggarisbawahi prioritas domestik dalam kebijakan negara, termasuk dalam sektor energi. Tren ini, diperkuat oleh potensi kembalinya Trump ke tampuk kekuasaan di Amerika Serikat, memunculkan kekhawatiran akan kemunduran komitmen global terhadap energi bersih dan transisi iklim.

Di Indonesia, transisi kepemimpinan pasca Pemilu 2024 menghadirkan dinamika tersendiri. Terpilihnya Prabowo Subianto, yang melanjutkan fokus pemerintahan sebelumnya pada infrastruktur dan hilirisasi, mengisyaratkan kontinuitas kebijakan energi. Namun, ambisi untuk mencapai swasembada energi nasional berpotensi bersinggungan dengan komitmen untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke energi terbarukan.

Swasembada Energi vs. Target Iklim: Sebuah Pertentangan?

Pemerintahan Prabowo menargetkan peningkatan produksi minyak mentah secara signifikan, dari 600.000-602.000 barel per hari menjadi 900.000 hingga 1 juta barel per hari pada 2028-2029. Upaya ini akan ditempuh melalui optimalisasi produksi, reaktivasi sumur-sumur yang tidak aktif, dan eksplorasi potensi minyak bumi. Penggunaan teknik pengeboran horizontal, yang diadopsi dari Amerika Serikat, juga menjadi andalan untuk meningkatkan produksi.

Namun, fokus pada energi fosil ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen Indonesia terhadap target iklimnya. Meskipun Indonesia memiliki cadangan minyak yang cukup besar, eksploitasi yang agresif akan mempercepat penipisan sumber daya tersebut dan meningkatkan emisi karbon. Di sisi lain, batu bara masih menjadi tulang punggung pembangkit listrik nasional dan komoditas ekspor yang menguntungkan. Hal ini membuat upaya untuk mempercepat pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menjadi rumit, terutama karena membutuhkan investasi besar.

Tantangan Energi Terbarukan dan Pendanaan Iklim

Realisasi energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia hingga 2024 baru mencapai 12,5 persen, jauh di bawah target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun ini. Ketergantungan yang tinggi pada energi fosil membuat transisi ke EBT menjadi tantangan yang berat. Selain itu, pendanaan untuk proyek-proyek EBT masih terbatas, dengan fokus utama pembiayaan saat ini masih pada sektor minyak dan gas.

Komitmen pendanaan iklim global juga menjadi isu krusial. Negara-negara maju, yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi karbon di masa lalu, dinilai belum memberikan kontribusi yang cukup untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi dampak perubahan iklim. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan menghambat upaya global untuk mencapai target iklim yang ambisius.

Kolonialisme Iklim: Beban Sejarah dan Tanggung Jawab Masa Depan

Praktik eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi fosil, oleh negara-negara maju di negara-negara berkembang merupakan bentuk "kolonialisme iklim" yang perlu diakui dan diatasi. Negara-negara maju memiliki tanggung jawab moral dan finansial untuk membantu negara-negara berkembang dalam transisi ke energi bersih dan mengatasi dampak perubahan iklim.

Harapan dan Tantangan di Masa Depan

Meskipun menghadapi tantangan yang kompleks, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan dan mencapai target iklimnya. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mempercepat transisi ke EBT, meningkatkan efisiensi energi, dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Selain itu, Indonesia perlu aktif dalam forum-forum internasional untuk mendorong negara-negara maju agar memenuhi komitmen pendanaan iklim mereka.

Meskipun visi untuk menjadikan Indonesia sebagai "raja energi hijau" masih jauh dari kenyataan, upaya untuk menuju energi bersih dan berkelanjutan harus terus dilakukan. Transisi ini mungkin lambat, melelahkan, dan terkadang terasa sia-sia, tetapi merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bumi dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.

  • Fokus pada Energi Fosil: Peningkatan produksi minyak dan batu bara mengancam target iklim.
  • Pendanaan Terbatas: Proyek EBT kurang mendapat dukungan finansial.
  • Target NDC Tertunda: Komitmen pengurangan emisi karbon belum diumumkan.
  • Kolonialisme Iklim: Negara maju harus bertanggung jawab atas dampak lingkungan.
  • Transisi Energi: Jalan panjang menuju energi bersih dan berkelanjutan.