DPR Kaji Pembatasan Siaran Langsung Sidang: RDPU Digelar dengan Media dan Organisasi Pers

DPR Kaji Pembatasan Siaran Langsung Sidang: RDPU Digelar dengan Media dan Organisasi Pers

Komisi III DPR RI berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), dengan fokus pada isu pembatasan siaran langsung proses persidangan oleh media massa. RDPU ini dijadwalkan berlangsung di tengah masa reses DPR, yang berlangsung hingga 16 April 2025.

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa RDPU ini akan mengundang sejumlah pihak terkait, termasuk perwakilan dari pimpinan media massa, organisasi pers seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), serta Forum Pemred. Pertemuan ini bertujuan untuk mencari titik temu dan pengaturan terbaik terkait peliputan persidangan.

"Perlu kami sampaikan ke teman-teman, terutama pers itu ada terkait dengan liputan persidangan. Kami akan undang dewan pers, PWI, AJI, dan Forum Pemred tanggal 8 April 2025, setelah lebaran, khusus membahas soal itu. Bagaimana pengaturan yang paling baik,” ujar Habiburokhman di Gedung DPR RI, Kamis (27/3/2025).

Rencananya, RDPU akan dilaksanakan pada hari Selasa, 8 April 2025 di Ruang Rapat Komisi III Gedung DPR RI. Fokus utama pembahasan adalah usulan larangan siaran langsung persidangan, khususnya saat pemeriksaan saksi.

Habiburokhman menekankan bahwa usulan ini bukan bertujuan untuk menghalangi kerja jurnalistik, melainkan untuk menjaga integritas proses persidangan, terutama dalam hal pemeriksaan saksi. Ia menjelaskan bahwa larangan siaran langsung hanya akan berlaku untuk sidang-sidang tertentu, khususnya saat pemeriksaan saksi, untuk menghindari potensi pengaruh terhadap keterangan saksi.

"Paling penting adalah pemeriksaan saksi, karena saksi itu keterkaitan. Enggak boleh saling mendengar. Itu yang memang perlu disiasati apa yang enggak bisa disiarkan secara live, itu hanya terkait pemeriksaan saksi, jadi spesifik,” kata Habiburokhman.

Habiburokhman juga menambahkan bahwa prinsip sidang terbuka untuk umum tetap dijunjung tinggi, sehingga peliputan persidangan secara umum tidak akan dipersulit. Ia menegaskan bahwa wartawan tidak perlu meminta izin kepada ketua pengadilan untuk meliput persidangan, kecuali untuk siaran langsung saat pemeriksaan saksi.

Usulan pembatasan siaran langsung persidangan ini sebelumnya telah disuarakan oleh advokat Juniver Girsang dalam RDPU dengan Komisi III DPR RI pada 24 Maret 2025. Juniver mengusulkan agar revisi KUHAP melarang media melakukan siaran langsung persidangan tanpa izin pengadilan.

"Usul kami yang dimaksud pasal 253 ayat itu, 'Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang untuk mempublikasikan/liputan langsung proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan'," kata Juniver di Gedung DPR RI.

Juniver menjelaskan bahwa siaran langsung persidangan dapat diperbolehkan jika mendapat izin langsung dari majelis hakim, dengan mempertimbangkan berbagai faktor.

Alasan utama Juniver mengusulkan pembatasan ini adalah kekhawatiran bahwa siaran langsung dapat mempengaruhi saksi yang belum diperiksa, sehingga mengubah keterangan mereka. Ia mencontohkan, saksi yang melihat siaran langsung persidangan bisa saling mempengaruhi atau bahkan mencontek.

"Kenapa ini harus kita setuju? Karena orang dalam persidangan pidana kalau diliput langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling mempengaruhi, bisa nyontek, itu kita setuju itu," kata Juniver.

Pasal 253 Ayat 3 dalam RUU KUHAP yang telah disusun oleh Komisi III DPR RI menyebutkan, "Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan”.

Dengan adanya usulan ini, RDPU yang akan digelar diharapkan dapat menghasilkan solusi yang seimbang antara kebebasan pers, hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, dan perlindungan terhadap integritas proses persidangan. Pembahasan akan dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak terkait untuk mencapai kesepakatan yang adil dan proporsional.

Poin-poin penting yang akan dibahas dalam RDPU:

  • Definisi "siaran langsung" dalam konteks persidangan.
  • Kriteria sidang yang boleh atau tidak boleh disiarkan langsung.
  • Prosedur perizinan siaran langsung dari majelis hakim.
  • Sanksi bagi pelanggaran aturan siaran langsung.
  • Pengaturan terkait peliputan persidangan secara umum (tanpa siaran langsung).

Hasil dari RDPU ini akan menjadi bahan pertimbangan bagi Komisi III DPR RI dalam menyusun revisi KUHAP, khususnya terkait dengan pasal-pasal yang mengatur tentang peliputan persidangan oleh media massa.