IEEFA Soroti Proyek DME: Beban Biaya Tinggi dan Potensi Kerugian Negara

Proyek DME Berpotensi Merugikan Negara dan Membebani Masyarakat, Ini Analisis IEEFA

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memberikan sorotan tajam terhadap proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) yang digagas pemerintah. Lembaga ini menilai proyek tersebut berpotensi merugikan negara dan membebani masyarakat dengan biaya energi yang lebih tinggi.

Analis Keuangan Energi IEEFA, Ghee Peh, menyatakan bahwa proyek DME dengan kapasitas produksi 1,4 juta ton menghadapi tantangan serius terkait biaya dan profitabilitas. Menurutnya, proyek ini bukanlah investasi yang menjanjikan karena beberapa alasan:

  • Biaya pengembangan yang sangat tinggi: Proyek ini diperkirakan membutuhkan investasi sebesar 3,1 miliar dollar AS.
  • Keuntungan yang diragukan: Dengan biaya produksi yang tinggi, potensi keuntungan proyek ini menjadi tidak pasti.
  • Manfaat yang tidak sebanding dengan beban yang ditanggung masyarakat: Masyarakat berpotensi membayar harga energi yang lebih mahal.

Belajar dari Kegagalan Proyek Serupa di China

IEEFA menyoroti kegagalan proyek serupa di China yang dijalankan oleh Shanxi Lanhua. Proyek tersebut terpaksa berhenti beroperasi karena biaya produksinya mencapai 533 dollar AS per ton, jauh di atas harga pasar DME di China yang hanya 460 dollar AS per ton pada tahun 2023.

Potensi Kerugian Akibat Pengalihan Batu Bara

Selain biaya pengembangan yang tinggi, proyek DME juga berpotensi menyebabkan kerugian akibat pengalihan batu bara yang seharusnya bisa dijual langsung. Berdasarkan laporan keuangan PT Bukit Asam per September 2024, setiap ton batu bara yang dijual menghasilkan keuntungan sebesar 8 dollar AS. Jika 6,5 juta ton batu bara digunakan untuk proyek DME dengan harga berdasarkan biaya produksi (cash cost), maka dalam 10 tahun, potensi keuntungan yang hilang bisa mencapai 520 juta dollar AS.

"Sehingga total biaya proyek DME akan menyentuh 3,1 miliar dollar AS dengan—belanja modal 2,6 miliar dollar AS ditambah hilangnya keuntungan 520 juta dollar AS—mencapai 70 persen dari biaya impor LPG Indonesia 4,3 miliar dollar AS per tahun, di mana volume impor LPG 7 juta ton. Namun, proyek ini hanya akan menghasilkan 1 juta ton setara energi LPG,” jelas Ghee.

Harga DME Lebih Mahal dari LPG

Analisis IEEFA juga menunjukkan bahwa biaya produksi DME terbilang tinggi, berkisar antara 614 hingga 651 dollar AS per ton setelah memperhitungkan biaya batu bara dan komponen lainnya. Angka ini jauh di atas harga LPG yang sudah disetarakan dengan DME, yakni 431 dollar AS per ton. Karena DME memiliki kandungan energi yang lebih rendah dibanding LPG.

"Jadi meski pada batas bawah biaya produksi non-batu bara, harga DME 183 dollar AS per ton atau 42 persen lebih mahal dari harga LPG, Maret 2025,” ungkap Ghee.

Risiko Masyarakat Membayar Energi Lebih Mahal

Pada akhirnya, IEEFA menyimpulkan bahwa proyek DME berisiko membuat masyarakat harus membayar energi 42 persen lebih mahal dibandingkan dengan penggunaan LPG. Hal ini tentu menjadi perhatian serius mengingat beban ekonomi yang saat ini tengah dihadapi masyarakat.