Dugaan Korupsi Pertamina: Bandingkan Kinerja dan Profitabilitas dengan PTT Thailand
Dugaan Korupsi Pertamina dan Perbandingan Kinerja dengan PTT Thailand
Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina (Persero) yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 193,7 triliun dalam kurun waktu 2018-2023 telah mengguncang sektor energi Indonesia. Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah petinggi Pertamina sebagai tersangka. Kerugian tersebut merupakan akumulasi dari berbagai dugaan tindak pidana, termasuk kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri (Rp 35 triliun), kerugian impor minyak mentah melalui broker (Rp 2,7 triliun), kerugian pemberian kompensasi (Rp 126 triliun), dan kerugian pemberian subsidi (Rp 21 triliun). Besarnya kerugian ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tata kelola perusahaan dan efektivitas pengawasan internal. Skandal ini bukan hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi juga menggoyahkan kepercayaan publik terhadap BUMN strategis ini.
Untuk memahami konteks kinerja Pertamina dan dampak potensial dari kerugian ini, perlu dilakukan perbandingan dengan perusahaan minyak dan gas negara lain yang memiliki skala dan kompleksitas serupa. PTT Public Company Limited (PTT) asal Thailand menjadi salah satu perusahaan yang dapat dijadikan acuan. PTT, yang didirikan pada tahun 1978, menempati peringkat 125 dalam daftar Fortune Global 500 tahun 2023, dengan pendapatan mencapai US$ 90,42 miliar (sekitar Rp 1.474,97 triliun) dan laba bersih US$ 3,22 miliar (sekitar Rp 52,54 triliun). Aset perusahaan ini tercatat sebesar US$ 100,74 miliar (sekitar Rp 1.643,33 triliun).
Sementara itu, Pertamina, yang didirikan jauh lebih awal pada tahun 1957, berada di peringkat 165 dalam daftar Fortune Global 500. Meskipun Pertamina mencatatkan pendapatan yang cukup besar, yaitu US$ 75,78 miliar (sekitar Rp 1.237,33 triliun) dan laba bersih US$ 4,44 miliar (sekitar Rp 72,48 triliun) pada tahun 2023, kasus korupsi yang sedang berjalan secara signifikan menurunkan citra perusahaan dan menimbulkan pertanyaan mengenai efisiensi operasional dan transparansi manajemen. Perbandingan ini menunjukan bahwa meskipun Pertamina memiliki pendapatan yang tidak jauh berbeda dengan PTT, tingkat profitabilitas dan peringkat globalnya lebih rendah. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya. Apakah perbedaan tersebut semata-mata karena perbedaan skala bisnis, strategi perusahaan, atau faktor internal lainnya, termasuk dugaan korupsi yang sedang diselidiki?
Perlu dilakukan investigasi menyeluruh dan transparan untuk mengungkap seluruh aspek kasus korupsi Pertamina. Hasil investigasi ini penting bukan hanya untuk menghukum para pelaku, tetapi juga untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola perusahaan, meningkatkan transparansi, dan memperkuat pengawasan internal. Kepercayaan publik terhadap Pertamina, sebagai perusahaan strategis yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, harus dipulihkan secepatnya. Langkah-langkah konkret, termasuk penerapan standar tata kelola perusahaan yang lebih ketat dan mekanisme pengawasan yang efektif, diperlukan untuk mencegah terulangnya skandal serupa di masa depan. Perbandingan dengan perusahaan sejenis seperti PTT dapat memberikan pembelajaran berharga untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas Pertamina.
Perbandingan Singkat Pertamina dan PTT (berdasarkan data Fortune Global 500):
- Peringkat Fortune Global 500:
- PTT: 125
- Pertamina: 165
- Pendapatan (Revenue):
- PTT: US$ 90,42 miliar (Rp 1.474,97 triliun)
- Pertamina: US$ 75,78 miliar (Rp 1.237,33 triliun)
- Laba Bersih:
- PTT: US$ 3,22 miliar (Rp 52,54 triliun)
- Pertamina: US$ 4,44 miliar (Rp 72,48 triliun)
- Total Aset:
- PTT: US$ 100,74 miliar (Rp 1.643,33 triliun)