Kemnaker Agendakan Pertemuan dengan Aplikator Ojek Online Terkait Polemik 'THR' Rp 50 Ribu
Kemnaker Agendakan Pertemuan dengan Aplikator Ojek Online Terkait Polemik 'THR' Rp 50 Ribu
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengambil langkah proaktif dalam menanggapi keluhan sejumlah pengemudi ojek online (ojol) terkait besaran Bonus Hari Raya (BHR) atau yang lebih dikenal dengan Tunjangan Hari Raya (THR) yang mereka terima. Merespon isu yang berkembang di kalangan pengemudi, Kemnaker berencana memanggil pihak aplikator penyelenggara layanan transportasi daring tersebut untuk dimintai klarifikasi.
Wacana pemanggilan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif dan berimbang dari kedua belah pihak, baik dari pengemudi maupun perusahaan aplikator. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, melalui akun Instagram resmi Kemnaker (@kemnaker), menyatakan bahwa pihaknya perlu mendengar langsung penjelasan dari para aplikator mengenai mekanisme penentuan besaran BHR yang diterima oleh para pengemudi.
"Biar imbang kita akan coba cek juga ke para aplikator atau platform digital ini. Nah kita minta klarifikasi dari platform digital ini kenapa ini bisa terjadi," ujar Immanuel Ebenezer.
Menurut Ebenezer, klarifikasi dari pihak aplikator sangat penting untuk memahami kategorisasi atau kriteria yang digunakan dalam menentukan besaran BHR yang diterima oleh masing-masing pengemudi. Ia menekankan bahwa Kemnaker ingin mengetahui secara detail bagaimana sistem kategorisasi tersebut diterapkan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
"Nah nanti kita juga mau tahu soal kategorisasi itu. Kategorisasi ini seperti apa? yang kita butuh klarifikasi dari pelaku digitalnya," jelas Ebenezer.
Langkah ini diambil agar Kemnaker dapat memperoleh gambaran yang utuh mengenai permasalahan yang ada, sehingga dapat memberikan solusi yang tepat dan adil bagi semua pihak yang terlibat. Kemnaker menyadari bahwa keluhan para pengemudi ojol mengenai besaran BHR yang mereka terima merupakan fakta yang didukung oleh data dan bukti yang valid.
"Apa yang mereka sampaikan kawan-kawan driver ini (dapat BHR Rp 50.000) kan fakta dan data. Mereka (driver) punya aplikasinya, mereka punya datanya, mereka tahu jam kerjanya, mereka tahu hasilnya," tegas Ebenezer.
Diharapkan dengan adanya pertemuan antara Kemnaker dan pihak aplikator, akan tercipta dialog yang konstruktif dan transparan, sehingga dapat ditemukan solusi yang terbaik bagi permasalahan BHR ojol ini. Kemnaker berkomitmen untuk terus mengawal isu ini dan memastikan hak-hak para pekerja, termasuk pengemudi ojol, terlindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemanggilan aplikator ini menjadi krusial mengingat kompleksitas hubungan kerja antara pengemudi ojol dan perusahaan aplikasi. Status kemitraan yang seringkali ambigu membuat penentuan hak dan kewajiban menjadi rumit. Klarifikasi dari aplikator diharapkan dapat membuka tabir mengenai sistem perhitungan BHR, transparansi algoritma, dan kejelasan mengenai biaya operasional yang dibebankan kepada pengemudi. Dengan demikian, Kemnaker dapat merumuskan kebijakan yang lebih efektif dalam melindungi hak-hak pengemudi ojol dan menciptakan ekosistem kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.
Beberapa poin penting yang diharapkan dapat diklarifikasi oleh pihak aplikator antara lain:
- Kriteria dan Mekanisme Kategorisasi: Bagaimana aplikator mengkategorikan pengemudi dan apa saja faktor yang mempengaruhi besaran BHR yang diterima?
- Transparansi Algoritma: Apakah algoritma yang digunakan dalam menentukan BHR transparan dan dapat diakses oleh pengemudi?
- Biaya Operasional: Bagaimana perhitungan biaya operasional yang dibebankan kepada pengemudi dan apakah hal tersebut mempengaruhi besaran BHR yang diterima?
- Status Kemitraan: Bagaimana aplikator mendefinisikan status kemitraan dengan pengemudi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi hak dan kewajiban kedua belah pihak?
Dengan adanya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, Kemnaker diharapkan dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melindungi hak-hak pengemudi ojol dan menciptakan ekosistem kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.