Paradoks Kehati-hatian: Ketika Tabungan Massal Mengancam Pemulihan Ekonomi Nasional

Paradoks Kehati-hatian: Ketika Tabungan Massal Mengancam Pemulihan Ekonomi Nasional

Konsep "Paradox of Thrift," yang dicetuskan oleh John Maynard Keynes, menyatakan bahwa tindakan yang bijaksana bagi individu tidak selalu bermanfaat bagi ekonomi secara keseluruhan. Di Indonesia, fenomena ini semakin terasa di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Rasionalitas Individu vs. Kepentingan Kolektif

Dalam iklim ekonomi yang tidak menentu, menabung lebih banyak adalah tindakan yang wajar bagi individu sebagai bentuk perlindungan diri. Namun, ketika jutaan rumah tangga melakukan hal yang sama, dampaknya justru kontraproduktif bagi perekonomian nasional. Peningkatan tabungan secara kolektif dapat menyebabkan penurunan konsumsi, yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Konsumsi rumah tangga adalah mesin utama penggerak ekonomi Indonesia, menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB). Jika konsumsi ini melemah akibat peningkatan precautionary saving atau tabungan berjaga-jaga, maka target pertumbuhan ekonomi yang inklusif akan sulit tercapai.

Peningkatan Tabungan dan Kekhawatiran Konsumen

Data Bank Indonesia menunjukkan peningkatan rasio tabungan rumah tangga sejak pandemi COVID-19, meskipun ekonomi telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga belum menunjukkan tren optimisme yang stabil, mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap masa depan.

Kecenderungan untuk menabung lebih banyak ini berdampak langsung pada sektor-sektor yang bergantung pada permintaan domestik, seperti UMKM dan ritel modern.

Belajar dari Jepang

Jepang pada dekade 1990-an adalah contoh klasik bagaimana ekspektasi negatif dan perilaku menabung berlebihan dapat menciptakan stagnasi ekonomi berkepanjangan, bahkan setelah stimulus fiskal digelontorkan. Indonesia perlu waspada agar tidak mengalami nasib serupa.

Faktor Pendorong Precautionary Saving

Beberapa faktor utama mendorong precautionary saving di Indonesia:

  • Gelombang PHK: Pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor menyebabkan ketidakpastian pendapatan.
  • Inflasi: Kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti beras dan minyak goreng, menekan daya beli masyarakat.
  • Ketidakpastian Ekonomi Global: Ancaman resesi global dan perang Ukraina juga mendorong masyarakat untuk menabung.

Kondisi ini menciptakan lingkaran setan: daya beli melemah, pelaku usaha kehilangan pasar, investasi terhambat, dan lapangan kerja berkurang.

Membangun Rasa Aman Ekonomi

Untuk memutus siklus precautionary saving, diperlukan solusi yang lebih dari sekadar pendekatan moneter. Pemerintah perlu menciptakan rasa aman ekonomi secara sistemik melalui:

  • Penguatan Jaminan Sosial: Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) perlu direformasi agar lebih inklusif dan mudah diakses.
  • Stabilitas Harga Pangan: Pemerintah perlu memperkuat cadangan pangan strategis dan memperbaiki sistem logistik.
  • Penguatan Pasar Tenaga Kerja: Pendidikan vokasi, perlindungan pekerja gig economy, dan reformasi hubungan industrial menjadi prasyarat untuk menciptakan rasa aman finansial.

Peran Pemerintah

Negara memiliki tanggung jawab untuk membangun kepercayaan masyarakat melalui kebijakan yang berpihak, adil, dan membumi. Tanpa itu, precautionary saving akan terus menghantui perekonomian Indonesia dan menggerogoti pertumbuhan dari dalam.

Dengan demikian, mengatasi paradoks kehati-hatian ini memerlukan pendekatan holistik yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga pada kesejahteraan dan rasa aman masyarakat. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk memulihkan kepercayaan publik, sehingga masyarakat berani kembali berbelanja dan menginvestasikan uang mereka, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.