Membangun Legitimasi: Tantangan Pemerintah dalam Mengelola Ekspektasi Publik dan Komunikasi Kebijakan

Dari Janji Kampanye ke Realitas Pemerintahan: Mengatasi Jurang Kepercayaan Publik

Pemerintahan baru kerap kali dihadapkan pada tantangan krusial: menjembatani kesenjangan antara janji-janji kampanye yang ideal dan realitas implementasi kebijakan yang kompleks. Euforia kemenangan dan momentum politik seringkali mendorong percepatan produksi kebijakan, namun tanpa diimbangi dengan perencanaan matang dan komunikasi publik yang efektif, dampaknya justru kontraproduktif. Gelombang penolakan publik terhadap sejumlah kebijakan yang terburu-buru diluncurkan menjadi bukti nyata.

Refleksi Enam Bulan Pemerintahan: Belajar dari Pembatalan Kebijakan

Enam bulan pertama pemerintahan menjadi periode krusial untuk menguji dan mengkalibrasi arah kebijakan. Beberapa kebijakan, seperti penyesuaian harga Elpiji 3 kg, proyek pagar laut, perubahan PPN, dan penundaan penerimaan CPNS, terpaksa dianulir akibat tekanan publik yang masif. Program ambisius seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) masih bergulat dengan persoalan teknis dan implementasi. Bahkan program sederhana seperti cek kesehatan saat ulang tahun, meski berniat baik, kurang mendapat sambutan antusias dari masyarakat. Kegagalan ini mengindikasikan adanya permasalahan mendasar dalam proses transisi dari kampanye ke pemerintahan.

Charles O. Jones, dalam karyanya "Passages to the Presidency: From Campaigning to Governing", menggarisbawahi bahwa transisi dari kampanye ke pemerintahan adalah fase kritis yang seringkali diabaikan. Kampanye adalah arena membangun narasi ideal dan mengelola harapan, sementara pemerintahan adalah arena mengelola realitas dan implementasi kebijakan yang konkret. Presiden dan timnya kini dihadapkan pada tantangan serius untuk merasionalisasi kebijakan, memastikan keselarasan antara aspirasi publik, kelayakan implementasi, dan keberlanjutan program.

Komunikasi Publik yang Tersendat: Akar Masalah Distrust?

Salah satu akar masalah utama adalah komunikasi publik yang kurang efektif. Survei menunjukkan bahwa mayoritas program presiden belum tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat. Meskipun sejumlah juru bicara telah ditunjuk di berbagai tingkatan pemerintahan, pesan kebijakan seringkali tidak sampai dengan jelas dan tepat sasaran kepada publik. Hal ini menciptakan kesan bahwa tim komunikasi pemerintah bergerak sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang solid dan pemahaman mendalam tentang visi presiden. Analogi Production House (PH) yang memproduksi pesan tanpa memahami arahan produser (presiden) menggambarkan situasi ini dengan tepat. Akibatnya, masyarakat kesulitan memahami latar belakang, tujuan, dan manfaat dari kebijakan yang diluncurkan.

Dampak Buruk Komunikasi yang Buruk

Tanpa komunikasi yang efektif, kebijakan yang sebenarnya dirancang untuk kepentingan publik berpotensi disalahartikan, bahkan ditolak mentah-mentah oleh masyarakat. Kasus Elpiji 3 kg adalah contoh klasik. Kebijakan yang bertujuan membantu masyarakat berpenghasilan rendah justru menimbulkan polemik dan akhirnya dibatalkan karena komunikasi yang buruk. Seandainya pemerintah mampu mengkomunikasikan alasan, tujuan, dan dampak positif kebijakan tersebut dengan baik, mungkin hasilnya akan berbeda. Jika pola komunikasi yang tersendat ini terus berlanjut, pemerintah berisiko terjebak dalam pola "Policy by Trending Topic", di mana kebijakan dibuat berdasarkan isu-isu viral tanpa perencanaan matang dan analisis mendalam.

Membangun Kembali Kepercayaan Publik: Fokus pada Kebijakan Berkelanjutan dan Komunikasi Transparan

Untuk menghindari jebakan tersebut, pemerintah perlu fokus pada pengembangan kebijakan yang berkelanjutan dan berbasis data. Setiap kebijakan harus melalui proses perencanaan yang matang, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan didukung oleh data serta analisis yang kuat. Selain itu, komunikasi yang efektif dan transparan menjadi kunci utama. Pemerintah harus mampu menjelaskan rasionalitas di balik setiap kebijakan, mengkomunikasikan dampak positifnya bagi masyarakat, dan membuka ruang dialog untuk menerima masukan dan kritik konstruktif.

Pilar Kepercayaan Publik

Sebuah studi dalam Public Administration Review menekankan bahwa kepercayaan publik dalam pemerintahan dibangun melalui konsistensi, transparansi, dan akuntabilitas. Kebijakan yang reaktif dan tanpa perencanaan matang justru akan mengikis kepercayaan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya responsif terhadap kebutuhan publik, tetapi juga didukung oleh data dan analisis yang kuat. Implementasi kebijakan juga harus disertai dengan proses evaluasi dan monitoring yang ketat untuk mengidentifikasi masalah sejak dini dan melakukan koreksi yang diperlukan.

Dengan membangun landasan kebijakan yang kuat, mengutamakan komunikasi yang efektif, dan menjunjung tinggi transparansi serta akuntabilitas, pemerintah dapat membangun kembali kepercayaan publik dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

Daftar Kebijakan yang Sempat Menuai Polemik

Berikut adalah daftar kebijakan yang sempat menuai polemik:

  • Kisruh elpiji 3 kg
  • Pagar Laut
  • PPN
  • Pengumuman pengunduran penerimaan CPNS
  • Program kampanye Makan Bergizi Gratis (MBG) masih menyisakan banyak persoalan teknis
  • Program cek kesehatan saat ulang tahun